Dewasa ini masalah pencemaran lingkungan hidup semakin meningkat dari waktu, ke waktu, baik kegiatan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh individu maupun oleh badan hukum ( korporasi ). Kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi patut kita waspadai, karena kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi adalah yang paling potensial pada masa kini dan tentu saja sangat memiliki dampak yang berbahaya bagi kelangsungan lingkungan hidup dan sekitarnya. Bahkan Barda Nawawi Arif memaparkan hal-hal yang menjadi masalah sentral dunia saat ini adalah: perkembangan kongres-kongres PBB mengenai the prevention of crime and the treatment offenders dalam dua dekade terakhir ini sering menyoroti bentuk-bentuk dimensi kejahatan terhadap pembangunan ( crime against development ), kejahatan terhadap kesejahteraan social ( crime against social welfare ), dan kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup ( crime against the quality of life ).
Pembangunan yang terjadi secara besar-besaran dan tanpa memperhatikan aspek lingkungan menjadi persoalan utama bagi lingkungan hidup. Keterkaitan masalah-masalah pembangunan dengan masalah kesejahteraan masyarakat dan masalah lingkungan hidup pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah lingkungan hidup menjadi paling hangat untuk disoroti oleh berbagai pihak. Hal ini karena lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan kelangsungan makhluk hidup dan kesejahteraan makhluk hidup. Dengan melihat besarnya pengaruh korporasi dalam pencemaran lingkungan hidup dewasa ini, maka sudah selayaknya apabila korporasi tersebut dimintai pertanggung jawaban secara pidana
Sejarah mencatat banyak negara-bangsa mengamini ide-ide demokrasi dan menerapkannya tidak saja ke tata pemerintahan (government), tapi juga ke berbagai tata kelola (governance) masyarakat. Berbagai program sosial dan regulasi ekonomi diciptakan untuk melindungi warganya. Namun, mulai akhir abad ke-20, di bawah tekanan dari lobi-lobi korporasi atas nama globalisasi, banyak pemerintahan mulai menerapkan kebijakan neoliberal. Akibatnya, pemerintah dipinggirkan dan bisnis mulai memegang kendali. Sementara deregulasi melepaskan bisnis dari aturan, privatisasi memungkinkan mereka ( para korporasi global ) untuk mengelola berbagai area yang menjadi sector hidup bersama, yang tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Gejala ini disebut ‘pengambilalihan diam-diam’ (silent take-over). Bisnis dalam rupa korporasi menjelma menjadi institusi yang sangat dominan, yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas sipil. Akibatnya, berbagai malapraktik yang dilakukan oleh korporasi berjalan terus tanpa kendali.
International Amnesty (2003) dan Human Rights Watch (2004) melaporkan berbagai bisnis internasional terlibat luas dalam pelanggaran HAM di daerah operasi mereka di seluruh dunia mulai penyiksaan pekerja, penggusuran, penyingkiran paksa, menghambat buruh berserikat, melanggar hak-hak dasar pekerja perempuan, mempekerjakan buruh anak, hingga mengobrak-abrik hak-hak masyarakat adat, serta merusak lingkungan hidup.
Sebagai respons, konsepsi CSR yang merupakan bentuk tanggung jawab korporasi, mulai digiatkan lagi kepada komunitas bisnis. Padahal, ia bukan hal baru. CSR sudah ada sebagai bagian dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan di mata publik. Tapi, lewat gugatan ketat logika para pemodal, tanggung jawab korporasi ini membuahkan dilema. Di satu sisi, CSR merupakan klaim atas inisiatif yang menunjuk bahwa bisnis tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk kemaslahatan pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan hidup. Global Compact Initiative (2002) menyebut pemahaman ini dengan 3P (profit, people, planet). Yaitu, bahwa sementara tujuan bisnis adalah mencari laba (profit), ia seharusnya juga menyejahterakan orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini.
Namun, di sisi lain, pakar bisnis malah melihat CSR sebagai amoral. Konsultan bisnis Peter F Drucker dalam buku The Corporation (2004) bilang, ”Jika Anda menemui seorang eksekutif di perusahaan Anda yang ingin menjalankan tanggung jawab sosial, pecat dia. Segera.” 2 Milton Friedman pun yakin bahwa apa yang disebut dengan CSR itu sesungguhnya amoral. Dalam buku yang sama ia bilang, ”Perusahaan itu milik pemegang saham dan kepentingannya adalah kepentingan para pemegang saham, yaitu mencari untung.3 Haruskah kini perusahaan membelanjakan uang para pemegang sahamnya untuk suatu tujuan yang dianggap bertanggung jawab secara sosial, tapi tidak berhubungan dengan kepentingan para pemegang saham (yaitu mencari untung) itu? Jawabannya tentu saja tidak.” Bagi Friedman, hanya ada satu ‘tanggung jawab sosial’ para eksekutif perusahaan: mencari untung sebanyak-banyaknya.
Inilah imperatif moral bisnis. Maka, eksekutif yang menempatkan upaya-upaya sosial dan perlindungan lingkungan lebih tinggi dari upaya-upaya mencari untung (yang mencoba bermoral) sesungguhnya bertindak amoral. Dalam logika ini, maka CSR hanya bisa ditoleransi ketika ia dijalankan dengan tidak tulus. Eksekutif perusahaan yang memanfaatkan nilai-nilai sosial dan lingkungan hidup sebagai cara untuk memaksimalkan laba pemegang saham, bukan demi nilai itu sendiri, tidak bersalah.
Seperti menempatkan gadis cantik di depan mobil untuk menjual mobil, tujuannya bukan mempromosikan kecantikan, melainkan menjual mobil tersebut. Niat baik bisa dipakai untuk menjual. Good intentions can sell goods. Kebaikan moral, sebaliknya, justru menjadi amoral ketika ia tidak membawa untung bagi perusahaan. Begitulah logika ketat yang dipakai Friedman dan Drucker. Atas dilema ini, Anita Roddick (2004) menuduh ‘agama akumulasi laba’ yang dihembuskan oleh neoliberalisme sebagai biang keladi. Paham ini memaksa orang baik di korporasi untuk melakukan hal-hal tak baik demi laba: ‘Untung di atas segala-galanya’. Karena harus menggenjot laba, apa pun menjadi sah untuk tujuan itu, mencemari lingkungan hidup, menggunakan buruh anak, atau memecat ribuan buruh.4 Inilah mengapa gagasan mengenai pertanggung jawaban korporasi dalam delik lingkungan perlu kembali dipikirkan
Penegakan hukum pidana lingkungan dapat berupa preventif dan represif. Penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat preventif adalah penegakan hukum sebelum terjadinya pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup. Hal ini erat kaitannya dengan masalah administrasi lingkungan, yaitu : pemberian izin. Dalam pemberian izin usaha, pemerintah hendaknya memperhatikan dampak social dan dampak lingkungan hidup yang akan timbul dari kegiatan usaha tersebut. Sedangkan penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat represif adalah penegakan hukum setelah terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Dalam hukum lingkungan, penegakan hukum secara preventif harus lebih diutamakan, karena penanggulangan akibat pencemaran melalui penegakan hukum represif memerlukan biaya yang sangat besar. Di samping itu kerugian yang akan diderita oleh lingkungan sebagai akibat dari pencemaran, tidak mungkin dapat dipulihkan kembali dalam waktu yang cepat.Koesnadi berpendapat bahwa upaya penegakan hukum lingkungan yang harus dilakukan lebih dahulu adalah yang bersifat compliance, yaitu pemenuhan peraturan, atau penegakan hukum preventifnya dengan pengawasannya
Sementara itu, penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan perlu memperhatikan asas subsidaritas sebagai berikut: sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidaritas yaitu hendaknya hukum pidana didayagunakan apabila sanksi dibidang hukum lain, seperti sanksi administratif, dan sanksi perdata, dan alternative penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan / atau tingkat kesalahan pelaku relative berat dan / atau akibat perbuatannya lebih besar dan / atau perbuatannya menimbulkan keresahan di masyarakat.
Ada tiga pendapat para pakar hukum pidana jika korporasi menjadi subjek hukum:
1. Tidak pernah memikirkan adanya eksistensi badan hukum atau korporasi. Perbuatan yang dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi harus dipandang sebagai perbuatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi, jadi penguruslah yang bertanggung jawab. Pendapat ini mengacu pada asas umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), yaitu bahwa sebuah perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia ( naturlijke person ). Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal 59 KUHP yang berbunyi : jika ditentukan pidana karena pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena kesalahannya.
2. Mengakui korporasi sebagai pembuat namun yang harus bertanggung jawab adalah pengurusnya.
3. Mengakui bahwa korporasi dapat menjadi pembuat dan yang bertanggung jawab. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling maju yang menganggap korporasi sebagai subjek hukum sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Latar belakang dari pemikiran ini, sehingga korporasi dapat dijatuhi hukuman pidana antara lain karena ada anggapan bahwa keuntungan materi yang diperoleh oleh korporasi dari hasil usahanya amatlah besar, maka pidana yang dijatuhkan kepada pengurus dirasa tidak seimbang dan tidak menjamin korporasi untuk tidak mengulangi perbuatan pidana tersebut.
Perbuatan tercela dan kejahatan terhadap lingkungan tidak hanya manusia sebagai badan pribadi yang dapat melakukannya, akan tetapi korporasi sebagai suatu badan hukum dapat pula melakukan perbuatan itu yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain, baik individu atau masyarakat. Ketentuan pidana dalam pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982 diawali dengan kata-kata barang siapa yang menunjuk pada pengertian orang. Menurut pasal 5 ayat 2 bahwa, “ setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah kerusakan dan pencemarannya”. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal 5 dinyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan pengertian orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu maupun badan hukum dapat menjadi subjek perbuatan pidana dalam lingkungan hidup.
Pelaksanaan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab dalam delik lingkungan tetap harus melihat unsur kesalahan dalam perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pembuat suatu perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam ilmu hukum hal ini kita kenal dengan asas “ tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zoonder schuld )”. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah atau ia tidak memiliki unsur kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya sebagai pertanggung jawaban. Untuk menentukan adanya kesalahan pada seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab si Pembuat
2. Hubungan batin antara si Pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alas an pemaaf.
Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, tidak hanya dikenal dalam UU No.23/1997. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Anti Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) juga mengatur pertanggungjawaban atas kejahatan korporasi.Sally S. Simpson menyatakan "corporate crime is a type of white-collar crime". Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law"
Simpson menyatakan ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi.
Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
Kedua, baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya, termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors) dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.
Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Parahyangan, Stefanus Hariyanto, mengatakan dalam kasus kejahatan korporasi yang dijatuhi hukuman pidana adalah perusahaannya. Menurutnya, kalau direktur juga ikut dipidana maka persoalannya sudah menjadi personal crime. Stefanus berpendapat, apabila menuntut korporasi saja, maka sanksi pidananya adalah denda, tidak termasuk penjara. “Ini yang orang sering salah kaprah, dalam hukum pidana ada asas legalitas, sehingga direktur ini tidak bisa dipidanakan bila belum ada aturannya,”.
Oleh sebab itu dia berpendapat, yang seharusnya didakwa bukan hanya korporasi tapi juga individu-individu yang dianggap bertanggung jawab atas pencemaran tersebut, termasuk direkturnya. Stefanus menjelaskan, perlu ada pemahaman bahwa dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime.
Dia menekankan, harus dipisahkan sanksi terhadap korporasi dan juga individu. Memang logikanya jika korporasinya bersalah maka direksinya juga bersalah, karena yang melakukan tindakan korporasi adalah direksi. Namun, dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea (guilty mind) yang dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because the person committing it intended to do something wrong, This mental state is generally referred to as Mens rea”
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo, mempunyai pendapat yang berbeda dengan Stefanus. Menurutnya, dalam hal korporasi sebagai terdakwa, maka dianggap korporasi ini yang mempunyai mens rea. Sehingga di mata Harkristuti, harus dibuktikan dalam pengadilan perbuatan apa yang dilakukan oleh (karyawan) perusahaan tersebut. Hal ini (corporate crime) adalah suatu pengecualian, karena biasanya mens rea ini terletak pada manusianya, tapi dalam hal ini perusahaan dianggap memiliki mens rea. Harkristuti mendasarkan argumennya berdasarkan ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No.23/1997 serta prinsip mengenai fiduciarie duties yang dianut dalam Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Dia melihat, lembaga peradilan memang agak canggung untuk membawa korporasi ke pengadilan. Namun seingatnya, pernah ada dua kasus serupa yang pernah diputus oleh pengadilan, dimana direktur perusahaan dijatuhi pidana kurungan karena tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan.
Mengenai dugaan pelanggaran izin yang diperoleh korporasi. Stefanus berpendapat hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, “Kalau yang dilanggar adalah hukum administrasi berarti dia melanggar perizinan. Jadi harus dibuktikan apakah korporasi melanggar ambang batas yang ditentukan dalam izin. Baru diperiksa apakah pelanggaran terhadap ambang batas tersebut menimbulkan pencemaran,” paparnya.
Lebih jauh menurutnya, kalau pelanggaran ini menimbulkan pencemaran, maka korporasi bertanggung jawab secara pidana dan juga perdata. “Yang berlaku dalam Undang-Undang Lingkungan adalah delik formal. Artinya begitu terbukti melanggar hukum administrasi (ambang batas) maka sekaligus melanggar hukum pidana,” ujar Stefanus.
Sementara itu, Walhi berpendapat tindakan korporasi merusak lingkungan merupakan kesalahan korporasi. Pasalnya, pihak korporasi biasanya rutin melakukan monitoring terhadap system kerja para karyawan karena kalau ada kesalahan individual akan langsung kelihatan. korporasi dan direksinya bisa dimintai pertanggungjawaban terhadap pencemaran. Sebab, korporasi telah memiliki sistim aturan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja. Dalam sebuah kasus lingkungan yang melibatkan WALHI dengan sebuah perusahaan penyedot asap di Jawa Timur, pengadilan pernah menyatakan korporasi bersalah telah melakukan pencemaran. Pengadilan menilai, keputusan untuk membuang limbah tersebut bukanlah keputusan manajerial. Saat ini perkara tersebut masih di tingkat kasasi.
Kejahatan korporasi yang disampaikan oleh Joseph F. Sheley kedalam beberapa jenis, antara lain:
Defrauding the stock holder : Perusahaan yang tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan kepada para pemegang saham.
Defrauding the public : mengelabui publik tentang produk-produknya yang mutu dan bahan-bahanya prima dan dapat dipertanggung jawabkan, isi iklan yang tidak benar.
Defrauding the Government : Membuat laporan pajak yang tidak benar.
Endangering employees : Perusahaan yang kurang memperhatikan keselamatan kerja para karyawannya.
Illegal intervention in the political process : Berkolusi dengan partai politik dengan memberikan sumbangan kampanye.
Endangering the publik welfare : Proses produksi yang menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan (debu, limbah B3, suara dan sebagainya).
DAFTAR PUSTAKA
1) Anto Sangaji, Potret Buruk Taman Nasional Lore Lindu : Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan.
2) Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
3) I Nyoman Nurjaya, Sejarah Hukum Pengelolahan Hutan Di Indonesia.
4) Ivan Valentina Ageung “Today, corporation govern our lives. They determine what we eat, what we watch, what we wear, where we work, and what we do. We are inescapably surrounded by their culture, iconography, and ideology”, diambil dari www.google.com, pada hari Selasa 10 Juni 2008.
5) Koesnadi Harjdasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1999.
6) Koesparmono, Kejahatan Dimensi Baru. Makalah pada seminar kejahatan teroganisir di UGM, 30 September 1996. Yogyakarta.
7) Mass Ahmad Santosa, Good Gorvenance Hukum Lingkungan 2001.
8) Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. Hukum Pidana oleh Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. N. Keijzer, Mr. E. Ph. Sutorius. Liberty. Yogyakarta.
9) Sudarto dan Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. 1994.
10) Yanuar Nugroho, Dilema tanggung jawab korporasi, selasa 23 Agustus 2005, opini Media Indonesia. Diambil dari www.media Indonesia.com, pada hari Selasa 10 Juni 2008
Oleh : Aditya Nugraha Iskandar
Koordinator Divisi Kadispel Iskandar Centre