Paradigma Hukum Progresif

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

"Biarkan Hukum Mengalir"

Demikianlah kata-kata yang terucap dari Prof Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum di Indonesia yang mengeluarkan ide hukum progresif. Pada dasarnya hukum progresif merupakan sebuah renungan panjang dari kegagalan hukum modern yang dalam hal ini didominasi oleh pandangan positivisme, dalam menjawab rasa keadilan masyarakat. Untuk memahami hukum progresif ada baiknya tentu kita lebih dulu menyelami apa yang dimaksud dari hukum positif.

HUKUM POSITIF

Dalam memahami sebuah teori hukum yang terlahir, analisis tentu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budaya (culture) dan sejarah (History) teori hukum itu terlahir. Hal ini tentu sangat relevan jika kita ingin mengetahui dasar filosofis Hukum positivis (legal positivism). Hukum positivis muncul sekitar abad ke 19 di kawasan Eropa. Tokohnya saat itu yang terkenal adalah Hans Kelsen (1881-1973), Hans Nawiasky, Adolf Merkl, Christopher Langdell dan John Austin. Hukum positivis tidak terlepas dari pemikiran empirisme yang saat itu berkembang di daratan Eropa. Empirime sendiri muncul dalam filsafat-filsafat Eropa tidak terlepas dari sturktur dan kultur Eropa saat itu. Dalam stuktur daratan Eropa saat itu, Raja memiliki kekuasaan yang absolut. Segala perkataan yang dikeluarkan oleh Raja adalah perkataan Tuhan di muka bumi. Raja adalah titisan tuhan di muka bumi, sehingga muncul semboyan 'The King Can do No Wrong'. Kekuasaan Raja yang begitu absolut melahirkan sebuah penyalagunahan wewenang dalam berbagai kegiatan , karena 'Power Tends Corrupt' menurut Lord Acton. Keabsolutan Raja dan Tindakan Sewenang-wenang yang kelak memunculkan Revolusi Perancis 1789.

Kedua Revolusi di daratan Eropa, yaitu Revolusi Perancis dan Revolusi Industri mempengaruhi munculnya pola positivisme dalam hukum. Hukum dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang otonom. Hukum terlepas dari moral dan hal-hal lain di luar hukum. Hukum harus dibakukan dalam subuah Undang-Undang yang dapat membatasi seorang pemimpin. Sehingga hakim hanyalah sebagai corong Undang-Undang dalam perkataan Montesqiue. Ilmu pengetahuan pasti yang saat itu mendorong lahirnya Revolusi Industri telah memukau banyak orang. Agar dapat menjadi suatu Ilmu Pengetahuan Modern, hukum harus memiliki sebuah kepastian. Karena dalam pandangan positivisme sesuatu yang dimulai dengan kepastian akan menghasilkan kepastian pula seperti hal nya mesin Industri. Hukum ditafsirkan secara atomazing, literal dan positifisme.

Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan

PARADIGMA HUKUM PROGRESIF

Kegagalan Hukum positif dalam menjawab rasa keadilan masyarakat memunculkan sebuah pendapat-pendapat atau aliran-aliran dalam mereformasi hukum. Muncul berbagai aliran hukum baru seperti legal Realism, Critical legal Studies, Responsif of Law dan Hukum Progresif. Ada kesamaan mendasar dalam aliran-aliran hukum post-modern tersebut dalam mengkritisi hukum positif, yaitu hukum bukan merupakan sesuatu yang telah selesai sehingga penghambaan terhadap undang-undang ditolak secara tegas.

Dalam hukum progresif, hukum adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum harus peka terhadap sesuatu yang terjadi di masyarakat. Hukum harus mempunyai nurani hukum dalam menciptakan keadilan masyarakat. Hukum progresif memandang hukum sebagai kajian sosial yang berhubungan dengan politik,ekonomi,budaya dan sosiologi. Hukum bukan sesuatu yang tertutup terhadap dunia luar (open logical system). Hukum progresif menurut Prof Satjipto Rahardjo lebih dekat dengan Sociological Jurisprudence.

Sociological Jurisprudence digawangi oleh tokohnya Roscoe Pound; ia mulai merintis aliran ini sekitar awal abad 20 di Universitas Harvard. Pound berpendapat bahwa law is a tool of social engineering. Hukum adalah suatu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus, yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan dan didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif.

Jadi hukum harus melihat dinamika yang mewarnai masyarakat dan bersifat fleksibel terhadap perubahan masyarakat sehingga adagium 'Hukum berjalan terpincang-pincang di belakang masyarakat' dapat di atasi. Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundangan-undangan harus dikontektualisasi dalam dinamika masyarakat agar dapat mencapai keadilan masyarakat. Peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan secara litelar dan dogmatis atas dasar kepastian hukum. Sebagai contoh dalam kasus perjudian anak-anak di tanggeran yang baru-baru ini terjadi. Secara positivisme pasal-pasa,l maka anak-anak di Tanggerang itu bersalah dalam melakukan perjudian. Tetapi jika kaitkan hal ini dengan kajian sosiologis,ekonomi dan budaya maka anak-anak di Tanggerang tidak dapat dinyatakan bersalah. Anak-anak di Tanggerang adalah korban konstruksi sosial yang membuat mereka terpaksa bekerja di masa kanak-kanak nya dan tidak mengerti pasal-pasal perjudian yang dituduhkan kepada mereka. Kurangnya pendidikan mempengaruhi anak-anak tersebut dalam melakukan tindakan tersebut. Sehingga secara garis besar dalam memutus sebuah kasus, parat penegak hukum tidak hanya melihat kepastian hukum semata. Nilai keadilan dan kemanfaatan harus diperjuangkan dalam memutus sebuah kasus.

kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.

Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya. Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.

Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

Hukum progresif juga terjadi diberbagai belahan dunia seperti di AS oleh tokoh nya Oliver Holmes. Holmes adalah hakim agung Amerika Serikat yang amat terkenal sebagai pelopor American Legal Realism. Kata-katanya yang terkenal adalah "the life of law is not been logic, but its has been an experience"; dan juga "studying the law simply as a great anthropological document". Bagi Holmes, hukum adalah perilaku aktual dari para hakim dalam memutus perkara di pengadilan, yang mencakup kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim, moral pribadi hakim serta kepentingan sosial. Holmes berpendapat hukum bukan kredo logical undang-undang semata, melainkan pengalaman.

Selain itu John Marshall seorang Hakim Agung dalam Supreme Of Court pernah menggemparkan dunia lewat pendapatnya bahwa"Mahkamah memiliki kekuasaan untuk menyatakan undang-undang (act of Congress) sebagai tidak konstitusional". Hal itu menegaskan kekuatan progresif dalam dunia hukum AS karena sebelumnya Suprme Of Court dianggap kekuatan yang rendah di bawah eksekutif dan legislatif.

Di daratan Eropa yang notabene kiblat positivisme, dalam hal ini negeri kincir angin Belanda pernah menjungkirbalikan sebuah pandangan kaca mata kuda positivisme pada bulan Januari 1919. Revolusi Januari tersebut dilakukan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) dalam penafsiran perbuatan melawan hukum. Perbuatan Melawan Hukum yang tadinya ditafsirkan hanya merupakan perbuatan yang melanggar peraturan telah meresahkan masyarakat, karena pebuatan yang jelas-jelas melanggar kepatutan masyarakat tidak dapat dijangkau oleh pasal-pasal peraturan.Selama pemahaman yang demikian itu yang dianut, masyarakat merasa dijahati oleh hukum karena hukum tidak melihat betapa jahatnya perbuatan yang bertentangan dengan kepatuhan dalam masyarakat, sekalipun tidak ada undang-undang yang dilanggar. Akibatnya Hoge Raad melebarkan tafsir perbuatan melawan hukum yang tidak hanya perbuatan melawan peraturan-peraturan yang berlaku, tetapi termasuk juga perbuatan melawan kepatutan masyarakat.

Akhir kata Biarkan Hukum Mengalir. Suatu ajakan yang beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking). Seperti air biarkan hukum mengalir "arus air yang menabrak batu, tidak berusaha untuk menghancurkan batu tersebut, melainkan mencari jalan sedemikian rupa, sehingga ia tetap dapat mengalir mencapai tujuannya. Maka apakah tidak sebaiknya hukum itu juga kita biarkan mengalir begitu saja dan mencari jalannya sendiri untuk mencapai tujuannya, yaitu melayani dan berguna untuk manusia".


-Aditya Nugraha Iskandar-
Koordinator Kadispel Iskandar Centre