Evaluasi Tanjung Priok

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Bentrok berdarah yang terjadi di Priok antara Petugas gabungan Satpol PP dan polisi berhadapan dengan massa, telah menimbulkan banyak kerugian. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, serta puluhan kendaraan hangus terbakar. Sebagai sebuah bangsa yang demokratis tentu kita wajib belajar atas insiden berdarah tersebut, agar di massa yang akan datang, peristiwa seperti itu tidak akan terulang.

Bentrok berdarah tersebut terjadi pada Rabu, 14 April di sekitar area Makam Mbah Priok, Koja, Jakarta Utara. Bentrok dipicu oleh sengketa lahan antara PT Pelindo (Pelayaran Indonesia) dan Ahli Waris Mbah Priok. Atas insiden berdarah tersebut, tentu kita harus melakukan investigasi secara keseluruhan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan asumsi atau informasi media (justice by pers). Semua informasi wajib di buka secara proposional di hadapan hukum, karena menunda hukum berarti menunda keadilan. Proses penyelidikan harus dilakukan secara adil dan tidak berpihak, serta memperhatikan asas parduga tak bersalah (presumption of innocent). Penyelidikan juga harus dilakukan secara proposional tanpa tendeng aling-aling untuk mencari kambing hitam.

Oleh karena itu, untuk melakukan penyelidikan tentu kita harus mempunyai titik tolak (stand point) agar proses penyelidikan berlangsung secara komperhensif. Titik tolak pertama penyelidikan adalah Bagaimana status hukum tanah sengketa tersebut?. Titik ini untuk mengetahui siapa pihak yang berhak atas tanah sengketa tersebut. Proses menentukan langkah ini tentu melalui media pengadilan. Di pengadilan lah kedua belah pihak mengajukan bukti-bukti serta argumen untuk mempertahankan kedudukan, bukan melalu media.

Titik selanjutnya adalah Apakah benar makam Mbah Priok berhubungan dengan sejarah Tanjung Priok dan budaya Betawi? (Wilayah Budaya). Titik ini dimaksudkan untuk tidak menimbulkan kesimpang-siuran atau mencampur adukan wilayah hukum dengan wilayah budaya. Jika makam tersebut benar-benar memiliki nilai budaya, tentu wilayah hukum harus memberikan keistimewaan terhadap area tersebut, dengan menetapkannya sebagai cagar budaya. Tapi penyelidikan wilayah budaya tentu harus berdasarkan bukti serta literatur yang valid, bukan berdasarkan asumsi atau subjektifitas tertentu.

Ketiga, Apakah ada mediasi atau komunikasi yang dilakukan Pemda, sebelum melakukan eksekusi?. Di Era Modern dan Demokratis, proses mediasi dan komunikasi menjadi syarat wajib agar tidak menimbulkan konflik. Eksekusi lahan yang sebetulnya merupakan bagian dari penegakan hukum (law Enforcement) tetap harus dilakukan dengan jalan responsif, sebagai upaya meminimalkan kemungkinan timbulnya konflik.

Keempat, penyelidikan harus melihat peran serta atau keterlibatan semua pihak dalam bentrokan berdarah tersebut. Apakah Pimpinan Satpol PP atau Kepolisian telah melakukan prosedur tetap secara benar yang berdasarkan aturan yang berlaku?. Apakah pemimpin Ormas telah melakukan upaya yang benar dalam mengkoordinir anggotanya?. Apakah semua pihak telah melakukan tindakan preventif untuk mencegah bentrokan tersebut?.

Kelima, menindak tegas semua pihak yang melakukan pelanggaran hukum dalam bentrokan tersebut. Anggota Satpol PP atau kepolisian yang melakukan kekerasan harus ditindak secara hukum. Anggota masyarakat yang membawa senjata tajam juga harus ditindak sesuai aturan. Pemimpin Ormas yang tebukti melakukan provokasi atau memobilisasi anggotanya, sehingga keadaan semakin kacau juga harus ditindak secara hukum. Serta pihak-pihak yang melakukan pembunuhan juga harus ditindak sesuai dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Keenam, melakukan penijauan kembali fungsi Satpol PP yang terlalu luas. Redefinisi fungsi,wewenang dan kedudukan Satpol PP perlu dilakukan, agar kedepan tidak terjadi konflik. Atas otonomi daerah yang didasarkan UU 32 Tahun 2004, Pemerintah daerah memiliki wewenang dalam proses ketertiban berdasarkan PERDA. Berdasarkan aturan tersebut, maka Satpol PP memiliki wewenang menegakan PERDA. Dalam bentrokan Priok, fungsi eksekusi seharusnya dilakukan oleh Kepolisian dan Panitera atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian menata kembali prosedur tetap Satpol PP agar lebih responsif dalam melakukan upaya penertiban.

Semoga atas insiden Berdarah Priok, semua pihak dapat melakukan pembelajaran, agar di masa yang akan datang tidak terjadi bentrokan yang menimbulkan korban jiwa. Penegakan hukum atas bentrokan tersebut, juga harus dilakukan agar memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi para pihak yang dilanggar hak-haknya.

-Aditya Nugraha Iskandar-
Koordinator Kadispel Iskandar Centre

Cerita Tentang Teh

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Malam ini seperti biasanya malam di Jakarta. Hiruk pikuk mobilitas manusia urban. Lampu kota pun menari-nari mewarnai saat malam tiba. Ribuan kendaraan bermotor berbaris di jalan seperti koloni semut. Gedung-gedung tinggi kokoh berdiri dengan polesan cantik lampu-lampu. Entah berapa ribu watt listrik yang dibutuhkan, hanya untuk mempercantik diri atau sekedar memanjakan mata-mata kaum urban. Malam kali ini hujan turun membias debu-debu yang semakin pekat. Tak begitu deras. Air hujan selalu adil. Ia turun dari langit tanpa pandang bulu. Semua disiraminya, genting, dahan, aspal, atap mobil, bahkan tanah yang menjadikannya lenyap.

Di sudut kota, tepatnya dipelataran pertokoan Cikini Raya aku merebahkan diriku di sebuah cafe kecil. Sambil membaca buku yang baru ku beli, aku berusaha menghilangkan penat di otaku. Penat akibat kerja, kemacetan, Media yang penuh berita kriminalitas atau asap hitam bus. Kadang aku berpikir, di sudut lain ada banyak entitas seperti diriku di kota ini. Tapi kota ini menyimpan kemuramannya dengan hingar-bingarnya musik club, dengan kegenitan barang-barang di mall atau akobratik para pejabat.

Sambil membaca novel "Haji Murat" karya Leo Tolstoy, aku menikmati secangkir teh hangat. Teh hangat memang obat mujarab merefleksi otak saat hujan turun diiringi penat kehidupan. Di sudut ruangan cafe, tepatnya sebelah kiri, terlihat seorang gadis. Muka nya begitu menarik buatku. Terlihat sederhana layaknya orang Indonesia pada umumnya. Wajahnya terlihat sedang memandangi rintik hujan yang turun di luar. Rasa penasaran menuntunku untuk menghampiri gadis itu. Ia sedikit pendiam. Namanya Kirana, ia salah satu mahasiswi Universitas di Jakarta. Saat aku memulai pembicaraan, teh pesananku tiba diantarkan pramusaji. "Suka teh?" tanyanya. "Iya, saya suka teh dari rasa dan harumnya. Kalau kamu juga suka teh?" balasku. "ya, aku menyukainya." Setelah obrolan kami tentang teh, maka percakapan kami menjadi lancar. Mengalir seperti air hujan yang semakin deras di luar sana. Ternyata hari ini aku punya cerita. Cerita tentang teh.

Cerpen
-Aditya Nugraha Iskandar-
Jakarta, April 2010