Materi Presentasi Diskusi Mingguan IC (Untuk hari Kamis, 24 Juni 2010)

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 1 komentar

CARA MENGOPTIMALKAN Windows XP

Seperti yang telah kita kenal selama ini software xp merupakan software yang sangat banyak digunakan oleh masyarakat kita pada umunya. Tapi dari sekian banyak dari mereka hanya dapat memanfaatkan software itu tanpa mau tau cara untuk mengoptimalkan kinerja dari software tersebut.Berikut ini adalah langkah-langkah ataupun tahap-tahap untuk mengoptimalkan software xp pada komputer kita melalui 3 tahapan seperti :System Properties, System Configuration, Registry.

1.SYSTEM PROPERTIES
SYSTEM PROPERTIES ADALAH RUANG INFORMASI NAMA DAN PEMILIK
A.>KLIK KANAN PADA MY COMPUTER LALU KITA PILIH PROPERTIES
B.>KLIK MENU SYSTEM RESTORE DAN PASTIKAN SYSTEM TURN OFF SYSTEM RESTORE ON ALL
DRIVES ANDA TERCHECKLIST, BILA BELUM CHECKLISTLAH KOTAK ITU. KARENA SANGAT
BERGUNA UNTUK MENGHALAU PERKEMBANGBIAKAN VIRUS.
C.>KEMUDIAN KLIK ADVANCE DAN DIMANA TERDAPAT DIDALAM ITU 3 BUAH SETTING:

o) PILIH SETINGAN PERTAMA DAN CARILAH PILIHAN YANG BERTULISAN ADJUST FOR BEST
PERFORMANCE LALU KLIKLAH APPLY.TUNGGULAH BEBERAPA SAAT HINGGA TAMPILAN
BERUBAH JADI KLASIK.TAMPILAN MASIH TETAP BISA KITA UBAH-UBAH SESUAI
KEINGINAN.
- - KLIK ADVANCE DAN CARILAH CHANGE UNTUK MERUBAH VIRTUAL MEMORY.
KEMUDIAN CARILAH CUSTOM SIZE DAN ISIKAN DENGAN ANGKA MINIMAL 2 KALI
JUMLAH RAM YANG KITA GUNAKAN / PASANG.LALU KLIK OK SAMPAI KEMBALI KE
PROPERTIES AWAL.
o)SEKARANG KITA LEWATI SAJA SETINGAN KEDUA...KITA LANGSUNG SAJA KESTINGAN
KETIGA.DIMANA DIDALM ITU TERDAPAT 2 BUAH KOLOM YANG BERISIKAN ANGKA 30
KEMUDIAN RUBAHLAH ANGKA-ANGKA TERSEBUT MENJADI ANGKA 3.
LALU HILANGKANLAH CHECKLIST PADA AUTOMATIC RESTART.
KEMUDIAN KLIK OK SETALH SELESAI MERUBAHNYA. LALU KLIK OK LAGI UNTUK
MENUTUP SYSTEM PROPERTIES.

2.> SYSTEM CONFIGURATION
o) DENGAN CARA KLIK START LALU CARI RUN DAN TULISKAN MSCONFIG PADA RUN TERSEBUT
LALU TEKAN OK ATAUPUN ENTER.
o) DIDALAM SYSTEM CONFIGURATION UTILITIES PALING UJUNG TERDAPAT MENU STARTUP.
LALU DISANA TERDAPAT BANYAK NAMA YANG TERCHECKLIST.DAN KITA PILIH PROGRAM2
YANG AKAN KITA HILANGKAN PROSESNYA SAAT KITA MEMULAI WINDOWS BARU TAMPIL.
-- LANGKAHNYA DENGAN CARA BUANG CHECKLIST TERSEBUT YANG TIDAK PERLU PADA
WAKTU STARUP.LALU KLIK OK UNTUK MENUTUP SYSTEM CONFIGURATION DAN KLIK
RESTART KEMUDIAN SETELAH SELESAI.
-- SETELAH SELESAI DIRESTART MAKA SAAT MULAI MASUK KEMBALI KEDALAM WINDOWS
AKAN MUNCUL TULISAN BERBAHASA INGGRIS.LALU ANDA CHECKLIST DONT SHOW THIS
MESSAGE SAMPAI SETERUSNYA KEMUDIAN KLIK OK.MAKA SAAT ANDA MULAI STATRUP
KEMBALI NANTI KOTAK DIALOG TERSEBUT SUDAH TIDAK ADA LAGI.

3.> REGISTRY
REGISTRY ADALAH RUANG KELUAR MASUKNYA PROGRAM YANG TERINSTALL.

o) KLIK START PILIH RUN DAN TULISLAH REGEDIT LALU TEKAN ENTER.
o) KLIK TANDA (+) PADA HKEY_CURRENT_USER.LALU KLIK TANDA (+) PADA CONTROL PANEL.
LALU KLIK TANDA (+) PADA DESKTOP.
o) KLIK 2KALI PADA FOLDER DESKTOP DAN CARILAH TULISAN MENUSHOWDELAY LALU
GANTILAH ANGKA DIDALAM MENUSHOWDELAY TERSEBUT DENGAN MENGKLIK TULISAN
TERSEBUT 2 KALI DAN GANTI NILAI 400 MENJADI 0.
o) CARILAH DIDESKTOP YANG TADI DIRECTORY WINDOWS METRICS.LALU CARILAH TULISAN
MINAMINATE DAN RUBAHLAH NILAI 0 MENJADI 1 LALU KLIK OK.

LALU RESTARTLAH KOMPUTER ANDA DAN LIHATLAH PEUBAHAN YANG TELAH ANDA LAKUKAN.
SEMOGA BERHASIL....

-FARDIAN-

Orkestra

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar


Di sudut ruang yang tidak begitu terang. Agak redup. Sekelompok orang memainkan alunan musik dalam sebuah orkestra. Komposisi nada-nada menimbulkan harmoni suara nan indah.

Orkestra! aku menyukainya.

Setiap suara yang terdengar menimbulkan imaji tersendiri. Kadang sendu sampai menimbulkan pilu. Lain waktu, terasa bahagia luar biasa. Hati diajaknya berjingkrak. Hati diajaknya menyelami nuansa perasaan.

Setiap pukul 19.15 wib, aku selalu setia duduk mendengarkan alunan orkestra di sebuah gedung yang tak lagi remaja. Hanya untuk mendengarkan nya dan dibiarkan terbawa ke dalam relung-relung sensasinya. Entah mengapa? aku biarkan diri ini mengikuti setiap nada-nada yang dimainkan oleh para musisi. Kuping ini kupasrahkan untuk mendengarkannya.

Kadang, aku menutup mata untuk masuk menyelami setiap lekuk-lekuk nada. Sesekali ku hirup nafas dalam-dalam, seakan-akan nada-nada orkestra masuk bersama udara yang kuhirup dan mengalir terus ke dalam rongga. Otak ini seketika pun bereaksi. Membawa alam pikiranku pada sebuah cerita. Kadang tentang kamu. Tentang kamu yang telah pergi jauh. Tentang dinding rumah mu yang menjadi saksi bisu perjalanan kita. Tentang tiga buah patung bebek di ruang tamu mu.

Orkestra. Aku mendengarkan mu. Juga membutuhkan mu untuk sejenak bermain dengan perasaan. Walaupun terkadang rasa pilu.

Orkestra gedung tua selalu menimbulkan cerita.

-Aditya Nugraha Iskandar-

Jatuhnya Sang Tiran

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar


Totaliter mati oleh dialetika
Tersungkur bedil sang Idealis
Tunggang langgang mencari uluran tangan

Arus deras manifestasi kekuasaan
Hanyalah sebuah utopis kaum elite

Sementara sang proletar terus berontak!
Sadar akan penghisapan!
Mereka bersatu dalam sebuah movement
Bersama separatis
Berduyun-duyun penuh emosi!

Kembali sang Tiran bingung.

Aditya, Jakarta 26 Maret 2010
Sekjen Iskandar Centre

Jadwal Pemutaran Film IC Periode 3

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar


Sinopsis:
Film ini berkisah tentang empat keluarga Indonesia yang menjadi korban tragedi 1965 - 1966.
Keluarga Lanny di Jawa Tengah, keluarga Budi di Yogyakarta, Degung dan Kereta di Bali.

Alex, ayah Lanny adalah seorang tokoh Baperki. Penangkapan dan kematian Alex telah mengubah kehidupan Lanny sekeluarga. Ibu Lanny mendidik anak-anaknya dengan keras.
Lanny ditolak masuk Fak Kedokteran UGM karena Ibunya tidak memiliki cukup uang sejumlah yang diminta UGM.

Budi mengalami trauma dan dendam akan apa yang dialami Kris, kakaknya. yang menerima stigma sebagai anak PKI. Budi seperti hidup di dua dunia, hitam dan putih, dendan dan bersabar. "40 Years of Silence" mengikuti perkembangan kejiwaan Budi selama beberapa.

Orang tua Degung adalah tokoh penting pendukung Soekarno. Mereka menjadi korban tragedi tersebut pada saat Degung masih berumur lima tahun.Degung kecil juga menyaksikan pembunuhan seorang Mantrinya yang baik hati.Degung dibesarkan oleh pekerja seks komersial. Saat ini Degung masuk dalam dunia intelektual dan kebudayaan.

Kereta menyaksikan pembunuhan-pembunuhan terhadap orangtua dan keluarganya.
Kereta mengalami trauma yang berat. Saat ini Kereta hidup dengan roh-roh yang merasuki dirinya.

Rob Lemelson memberikan diagnosa Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) terhadap keempat keluarga tersebut. Peristiwa politik memberikan peran terbesar dalam trauma jutaan orang Indonesia. Tiga Sejawan, Romo Baskara T Wardaya, John Roosa dan Geoffrey Robinson, menerangkan temuan-temuan dalam penelitian mereka mengenai tragedy tersebut.

Pembunuhan massal th 1965/1966 belum dikenal luas di Indonesia. Diperkirakan 500,000 sampai satu juta orang telah dibunuh pada pertengahan oktober 1965 sampai April 1966. Ratusan ribu lainnya ditahan dan dikirimkan ke kamp selama bertahun-tahun, tanpa proses pengadilan. Puluhan ribu meninggal di dalam kamp-kamp penahanan. Peristiwa ini adalah salah satu kejahatan kemanusiaan yang belum terungkap di Indonesia.


Sinopsis :
Di Setting pada masa Perang Dunia II, sebuah cerita yang dilihat melalui mata polos seorang Bruno, anak delapan tahun dari seorang komandan kamp konsentrasi, yang mengadakan persahabatan dengan anak Yahudi dan harus menerima konsekuensi yang tak terduga.
Ralf seorang perwira SS dan istrinya Elsa memiliki dua orang anak, Gretel dan, Bruno. Mereka sekeluarga harus pindah ke daerah pedesaan ketika Ralf dipromosikan sebagai Obersturmbannführer (kepala kamp konsentrasi). Bruno awalnya tidak menyukai rumah barunya, juga tidak ada anak lain untuk bermain dengannya, dan juga terpisah dari kakaknya. Dari jendela kamar tidurnya, Bruno dapat melihat sebuah pagar kawat berduri dengan orang-orang dengan "piyama bergaris-garis" di belakangnya. Awalnya dia berpikir itu adalah ladang pertanian, tetapi ternyata itu adalah kamp orang-orang Yahudi. Bruno dilarang pergi ke sana, karena menurut Ralf, "mereka tidak benar-benar orang"; ralf katakan mereka aneh, seperti yang ditunjukkan oleh pakaian mereka
Bruno pergi ke sana diam-diam, dan berteman dengan seorang anak laki-laki Yahudi, bernama Shmuel, yang dia temui di pagar.. Shmuel mengatakan bahwa ia adalah seorang Yahudi dan bahwa orang-orang Yahudi telah dipenjarakan di sini oleh tentara, yang juga mengambil pakaian mereka dan memberi mereka pakaian bergaris garis, dan shmuel juga mengatakan bahwa ia lapar. Bruno bingung dan mulai memiliki keraguan tentang ayahnya adalah orang yang baik. Kemudian, dia lega setelah melihat film propaganda tentang kamp (yang merupakan parodi Theresienstadt). Bruno sering kembali ke kamp dan membawa makanan Shmuel dan memainkan draft dengan shmuel melalui pagar.
Cukup lama shmuel dan bruno bersahabat karib, sampai pada suatu hari ada kejadian tak terduga yang menimpa mereka.


Sinopsis :
Dipenjara dalam waktu lama tidak selalu membuat narapidana menjadi putus asa. Dalam penjara pun bisa terbina sebuah persahabatan antara narapidana yang cukup mengharukan seperti yang disajikan dalam film drama besutan Frank Darabont pada tahun 1994 yang bertajuk The Shawshank Redemption.

Diadaptasi dari sebuah cerita pendek karya pengarang beken Stephen King, kisahnya yang berlatar pada tahun 1947 di Maine, Amerika Serikat ini dimulai dengan seorang bankir muda yang kariernya sedang menanjak, Andy Dufresne dijatuhi hukuman penjara seumur hidup lantaran bukti-bukti yang ada menunjukkannya adalah pembunuh istrinya dan juga pria selingkuhan istrinya itu, padahal sebenarnya ia bukan pelakunya. Andy kemudian dikirim ke sebuah penjara bernama Shawshank Prison yang dipimpin oleh Sipir Samuel Norton.

Di sana, Andy pada mulanya sangat terisolasi dan kesepian, namun ia lalu menyadari bahwa dalam hatinya masih tersimpan sepercik harapan. Ia kemudian bersahabat dengan Red, narapidana seumur hidup lain yang bisa mengatur apa saja di penjara tersebut. Red yang membantu Andy bisa bertahan di penjara yang sangat keras itu. Tidak hanya itu, berkat kemampuan finansialnya itulah Andy mendapatkan teman dari kalangan penjaga penjara, Hadley lantaran membantu Hadley meminimalisasi pembayaran pajak secara legal.

Tidak lama kemudian penjaga penjara lain baik dari Shawshank Prison maupun beberapa penjara terdekat meminta advis keuangan dari Andy. Sehingga Andy pun diberikan ruang terpisah untuk mengerjakan keuangan para penjaga di balik topeng mengelola sebuah perpustakaan bersama salah satu narapidana tua. Sipir Norton yang akhirnya mengetahui perbuatan Andy, pun meminta Andy agar melakukan pencucian uang baginya. Tetapi Andy tetap punya impian sendiri yang dirahasiakan dari siapapun kecuali Red.

Seperti apa impian rahasia Andy itu yang hanya diberitahukan kepada Red? Akankah Andy tidak pernah keluar dari penjara tersebut.

Koalisi visioner dan oposisi demokratik

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Fenomena skandal bail out bank century telah menguras energi bangsa pada akhir-akhir yang lalu, terutama energi politik. Secara mutlak skandal bank century akan menjadi sejarah dalam proses pendewasaan demokrasi di negara ini. Akhir-akhir ini kita juga dimaraki oleh berita dana aspirasi yang menjadi perdebatan di kalangan elite-elite politik. Program dana aspirasi untuk para wakil rakyat (anggota DPR) yang diusung oleh partai Golkar, ternyata menimbulkan pro dan kontra, bahkan di dalam tubuh koalisi atau Setgab (sekretariat gabungan). Peristiwa-peristiwa tersebut tentu sangat menarik untuk dikaji dalam kerangka negara demokrasi. Demokrasi sebagai sistem kenegaraan yang dipilih setelah reformasi 1998 kini memasuki tahap konsolidasi demokrasi, yaitu tahap dimana setiap elemen-elemen melakukan perannya dalam memperkuat demokrasi. Konsolidasi demokrasi, pada hakekatnya berusaha mematangkan demokrasi agar mencapai tujuannya yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (demokrasi substansial).

Demokrasi substansial amat sangat diperlukan, agar wajah demokrasi yang hadir dipermukaan tidak hanya berupa bentrokan antar kelompok, sirkulasi kekuasaan, aksentuansi kekuasaan dan karnaval pemilu. Ketika demokrasi hanya bersifat prosedural-artifisial, maka demokrasi akan dihakimi sebagai biang kerok semua kekacauan politik dan menjadi alasan pembenar kaum anti-demokrasi fundamental, untuk menciptakan rezim tangan besi kembali.

Proses politik skandal bank century telah selesai dalam mekanisme paripurna legislative. Mekanisme yang akhirnya dimenangkan oleh kelompok pendukung opsi C, yaitu opsi yang menganggap proses bailout century sebagai kebijakan yang salah dan terdapat tindak pidana. Proses politik skandal bank century juga meninggalkan sebuah dinamika politik, yaitu : berbeloknya fraksi-fraksi pendukung pemerintah (koalisi). Fraksi-fraksi tersebut adalah fraksi PKS, fraksi golkar, fraksi ppp, dan seorang anggota fraksi kebangkitan bangsa, Lily Wahid. Hal ini tentu menjadi perdebatan terhadap masa depan koalisi, apakah bertahan atau bercerai? Kubu penguasa yang diwakili oleh partai demokrat bereaksi atas pembelotan beberapa anggota koalisi. Politikus-politikus partai demokrat meminta SBY untuk meninjau ulang kue koalisi dalam eksekutif atau meminta dilakukan reshufle kabinet. Tekanan politikus partai demokrat tentu didasari oleh kekecewaan mereka terhadap komitmen koalisi dan keraguan mereka terhadap laju perahu koalisi ke depan. Para politikus partai demokrat meminta SBY untuk meninjau ulang kue koalisi dalam eksekutif atau meminta dilalukan reshufle kabinet. Keputusan SBY tentu amat dinantikan para penggiat demokrasi. Keputusan tersebut tentu akan berimplikasi terhadap citra partai demokrat. Apakah akan legowo terhadap adanya perbedaan atau menunjukan watak arogansinya sebagai partai pemenang pemilu?

Sedangkan dalam polemik dana aspirasi, publik disuguhkan oleh terjadinya perbedaan pendapat dalam tubuh koalisi. Perbedaan pendapat dalam bangunan demokrasi memang sesuatu yang lumrah. Akan tetapi, sebaiknya perbedaan dalam tubuh koalisi diselesaikan terlebih dahulu di dalam internal koalisi, bukan terlihat di luar permukaan. Perbedaan pendapat antara partai golkar dan beberapa partai koalisi memperlihatkan secara kasar belum terbangunnya kesamaan visi dan misi koalisi. Selain itu, hal tersebut juga memperlihatkan begitu besarnya daya tawar (bargaining power) partai golkar sehingga berani bertentangan dengan pendapat anggota koalisi yang lain. Melihat fenomena tersebut tentu publik disuguhkan sebuah kebesaran jiwa elite-elite politik dalam membentuk budaya demokratis yang kondusif. Juga menjadi pertanyaan kepada publik, bagaimana bangunan koalisi dan oposisi yang sesuai dengan budaya demokrasi yang baik?

Membangun Budaya Demokrasi

Dalam ruang demokrasi, budaya demokrasi (culture democratic) menjadi faktor penting dalam menjamin keberlangsungan demokrasi. Budaya yang merupakan kebiasaan berulang-ulang dan menghasilkan pola yang dihayati bersama, akan memperkuat bangunan demokrasi. Budaya demokrasi seperti menghargai perbedaan, komunikasi dua arah, menerima kekalahan, memiliki nilai-nilai dalam membangun masyarakat demokratis (building society democratic).

Demokrasi yang dijalankan tanpa pertumbuhan budaya demokrasi, hanya akan menimbulkan proses menuju anarkhi. Ekses seperti ini dapat kita jumpai pada saat proses pilkada dengan maraknya kerusuhan. Budaya demokrasi yang belum terbangun secara sempurna, menciptakan ruang bagi munculnya pragmatisme dan fanatisme dalam proses demokrasi. Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya demokrasi, menjadi tiang fondasi bagi kokohnya proses konsolidasi demokrasi.

Menimbulkan budaya demokrasi, tentu bukan seperti menunggu hujan turun dari langit. Perlu ada proses penyadaran politik secara aktif kepada masyarakat, baik itu oleh infrastruktur politik atau suprastruktur politik,

Transformasi kesadaran politik, akan memunculkan aktifitas riil setiap orang atau masyarakat secara implisit dalam pola tingkah laku masyarakat. Menurut Gramsci, perlu adanya reformasi moral dan intelektual dan transformasi sosial yang dilakukan oleh intelektual organik (organic intelektuals). Reformasi moral dan intelektual, akan menjadi kesepakatan kolektif dalam dinamika masyarakat. Nilai-nilai yang muncul akibat dari proses transformasi kesadaran politik, akan teraktualisasi dalam setiap perilaku individu secara berulang-ulang dan kontinuitas, maka aktualisasi individu diterima sebagai budaya demokrasi. Nilai-nilai budaya demokrasi yang termanifetasikan dalam bangunan otopraksis, akan menjadi simpul-simpul konsolidasi demokrasi serta kohesi persatuan dan kesatuan.

Koalisi Visioner dan oposisi demokratik

Kontestasi dalam proses demokrasi menimbulkan garis demakarsi antar kubu kontestan-kontestan proses demokrasi. Garis pemisah terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan, baik sifatnya pragmatis, yaitu perbedaan kepentingan atau secara lebih fundamental, yaitu perbedaan ideologi.

Sudah menjadi keniscayaan, bahwa demokrasi itu memunculkan perbedaan. Namun perbedaan itu harus dimaknai dan diproses secara bijaksana agar menimbulkan nilai positif. Perbedaan harus disandingkan dengan budaya kebersamaan dalam kerangka persatuan dan kesatuan. Warna-warni perbedaan harus menjadi keindahan bagi pelangi demokrasi.

Secara lebih khusus dan derivatif, kontestasi dalam proses demokrasi (pemilu) menimbulkan polarisasi antara kubu pemerintahan (koalisi) di satu sisi, dengan kubu diluar pemerintahan (oposisi). Dalam sistem presidensial yang disandingkan dengan pola multipartai seperti di Indonesia, kubu pemerintahan dapat dibangun dibawah kerangka koalisi. Sistem multipartai dalam proses pemilihan dapat menghasilkan pemenang yang bersifat lemah (weak winner). Pemenang seperti ini tentu membutuhkan partner dalam perahu koalisi, agar pemerintahan tahan terhadap dinamika proses politik yang tidak selalu linier. Pemerintahan koalisi disusun dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan dalam menjalankan program-program pemerintahan.

Membangun sebuah koalisi, tentu harus dilandasi atas dasar kesamaan visi misi / konsep dalam membuat kebijakan (making policy). Inilah yang dinamakan dengan koalisi visioner atau koalisi yang terbentuk dari pijakan kesamaan visi dan misi. Koalisi visioner terbentuk agar mengeleminir adanya koalisi pragmatis atau koalisi bagi-bagi kue dan koalisi buta (blind coalition). Kedua koalisi tersebut dapat merusak bangunan demokrasi. Koalisi pragmatis adalah koalisi yang terbentuk atas dasar bagi-bagi kepentingan. Koalisi ini tentu tidak memiliki visi-misi yang jelas, serta tidak menjamin stabilitas pemerintahan karena bersifat cair. Koalisi pragmatis juga menimbulkan berbagai transaksi-transaksi politik yang bersifat koruptif atau kesepakatan ruang hitam (black room deal).

Sedangkan, koalisi buta (blind coalition) adalah juga koalisi tanpa didasari visi misi yang jelas, hanya berdasarkan kedekatan anggota koalisi semata. Koalisi seperti ini membuat semua kebijakan pemerintahan sebagai sesuatu kebenaran mutlak tanpa didasari landasan visi misi terlebih dahulu. Proses dialektika terhadapa kebijakan pemerintah tidak terdapat dalam koalisi seperti ini.

Dalam negara demokrasi, keberhasilan sebuah pemerintahan tidak hanya ditunjang dari sisi koalisi semata. Keberadaan oposisi yang berfungsi dalam melakukan kritik, kontrol dan memberikan saran kepada pemerintahan diyakini adalah keharusan dalam sistem demokrasi.

Oposisi diharapkan mampu menjadi penyeimbang rezim atau partai yang berkuasa dalam pemerintahan (eksekutif) agar tidak bertindak sewenang-wenang, karena jika perbuatan sewenang-wenang dibiarkan, demokrasi akan kembali masuk ke dalam jeruji otoritarianisme.

Dalam hal beroposisi, maka dibutuhkan oposisi demokratik untuk menunjang keberhasilan kebijakan pemerintahan. Oposisi demokratik adalah oposisi yang menjadi wadah alternatif rakyat untuk menilai kebijakan-kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, dalam melakukan koreksi atau kritik terhadap kebijakan pemerintah, oposisi demokratik harus memberikan alternatif gagasan sebagai sebuah solusi kepada rakyat. Kritik, koreksi dan saran oposisi demokratik terhadap pemerintah harus menjadi wahana pendidikan politik kepada rakyat, bukan didasarkan kepada kebencian semata atas kekalahan atau sebagai 'kegenitan politik' untuk meminta posisi kepada pemerintah. Pendidikan politik diberikan oleh oposisi demokratik agar rakyat paham hak dan kewajiban nya dalam demokrasi, serta menimbulkan sikap aktif kepada rakyat dalam menentukan nasib.

Jika oposisi hanya dimaknai sebagai 'asal beda' dengan pemerintah atau ruang bagi meminta konsesi politik, maka sistem demokrasi akan terjerat dalam fatamorgana demokrasi. Sistem demokrasi hanya menjadi ilusi untuk menyenangkan hati rakyat. Sesungguhnya demokrasi hanya menjadi topeng untuk elite-elite politik sebagai ajang bagi-bagi kekuasaan. Kedaulatan rakyat yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa akan menguap oleh waktu. Semoga saja itu tidak terjadi. Semoga elite politik dan rakyat pada umumnya sadar akan perannya masing-masing dalam dinamika politik.

Oleh : Aditya Nugraha Iskandar
Sekjen Iskandar Centre

Bambu

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 1 komentar

BAMBU

Bercandalah kita dengan bambu itu..
Angin itu ikut bercanda..
Air hanya mengitari
Sedikit bias sinar pun mengusik masuk
Lewat sela dia biaskan gelap..
Daun ikut bercanda lewat dentum jatuh.
Ikut ke kiri dan ke kanan, tetap kuat dia berpijak
Bambu itu keras
Rongga didalam membiarkan udara masuk
Memperkosa setiap jengkal ruas
Sungguh acuh mereka di siang hari
Kemudian menjadi perhatian pada malamnya
Bambu selalu tumbuh
Yang dia tahu keatas,
Tak di biarkan ilalang setara dengannya..
Tidak seperti padi yang menunduk
Bambu tegak kekiri atau kekanan
Dia biarkan dirinya dibedaki jamur
Bambu tidak peduli,
Karna yang dia tahu hanya tumbuh tinggi..

Jakarta,Mei 2010 *karya puisi bang oyong*

Evaluasi Tanjung Priok

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Bentrok berdarah yang terjadi di Priok antara Petugas gabungan Satpol PP dan polisi berhadapan dengan massa, telah menimbulkan banyak kerugian. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, serta puluhan kendaraan hangus terbakar. Sebagai sebuah bangsa yang demokratis tentu kita wajib belajar atas insiden berdarah tersebut, agar di massa yang akan datang, peristiwa seperti itu tidak akan terulang.

Bentrok berdarah tersebut terjadi pada Rabu, 14 April di sekitar area Makam Mbah Priok, Koja, Jakarta Utara. Bentrok dipicu oleh sengketa lahan antara PT Pelindo (Pelayaran Indonesia) dan Ahli Waris Mbah Priok. Atas insiden berdarah tersebut, tentu kita harus melakukan investigasi secara keseluruhan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan asumsi atau informasi media (justice by pers). Semua informasi wajib di buka secara proposional di hadapan hukum, karena menunda hukum berarti menunda keadilan. Proses penyelidikan harus dilakukan secara adil dan tidak berpihak, serta memperhatikan asas parduga tak bersalah (presumption of innocent). Penyelidikan juga harus dilakukan secara proposional tanpa tendeng aling-aling untuk mencari kambing hitam.

Oleh karena itu, untuk melakukan penyelidikan tentu kita harus mempunyai titik tolak (stand point) agar proses penyelidikan berlangsung secara komperhensif. Titik tolak pertama penyelidikan adalah Bagaimana status hukum tanah sengketa tersebut?. Titik ini untuk mengetahui siapa pihak yang berhak atas tanah sengketa tersebut. Proses menentukan langkah ini tentu melalui media pengadilan. Di pengadilan lah kedua belah pihak mengajukan bukti-bukti serta argumen untuk mempertahankan kedudukan, bukan melalu media.

Titik selanjutnya adalah Apakah benar makam Mbah Priok berhubungan dengan sejarah Tanjung Priok dan budaya Betawi? (Wilayah Budaya). Titik ini dimaksudkan untuk tidak menimbulkan kesimpang-siuran atau mencampur adukan wilayah hukum dengan wilayah budaya. Jika makam tersebut benar-benar memiliki nilai budaya, tentu wilayah hukum harus memberikan keistimewaan terhadap area tersebut, dengan menetapkannya sebagai cagar budaya. Tapi penyelidikan wilayah budaya tentu harus berdasarkan bukti serta literatur yang valid, bukan berdasarkan asumsi atau subjektifitas tertentu.

Ketiga, Apakah ada mediasi atau komunikasi yang dilakukan Pemda, sebelum melakukan eksekusi?. Di Era Modern dan Demokratis, proses mediasi dan komunikasi menjadi syarat wajib agar tidak menimbulkan konflik. Eksekusi lahan yang sebetulnya merupakan bagian dari penegakan hukum (law Enforcement) tetap harus dilakukan dengan jalan responsif, sebagai upaya meminimalkan kemungkinan timbulnya konflik.

Keempat, penyelidikan harus melihat peran serta atau keterlibatan semua pihak dalam bentrokan berdarah tersebut. Apakah Pimpinan Satpol PP atau Kepolisian telah melakukan prosedur tetap secara benar yang berdasarkan aturan yang berlaku?. Apakah pemimpin Ormas telah melakukan upaya yang benar dalam mengkoordinir anggotanya?. Apakah semua pihak telah melakukan tindakan preventif untuk mencegah bentrokan tersebut?.

Kelima, menindak tegas semua pihak yang melakukan pelanggaran hukum dalam bentrokan tersebut. Anggota Satpol PP atau kepolisian yang melakukan kekerasan harus ditindak secara hukum. Anggota masyarakat yang membawa senjata tajam juga harus ditindak sesuai aturan. Pemimpin Ormas yang tebukti melakukan provokasi atau memobilisasi anggotanya, sehingga keadaan semakin kacau juga harus ditindak secara hukum. Serta pihak-pihak yang melakukan pembunuhan juga harus ditindak sesuai dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Keenam, melakukan penijauan kembali fungsi Satpol PP yang terlalu luas. Redefinisi fungsi,wewenang dan kedudukan Satpol PP perlu dilakukan, agar kedepan tidak terjadi konflik. Atas otonomi daerah yang didasarkan UU 32 Tahun 2004, Pemerintah daerah memiliki wewenang dalam proses ketertiban berdasarkan PERDA. Berdasarkan aturan tersebut, maka Satpol PP memiliki wewenang menegakan PERDA. Dalam bentrokan Priok, fungsi eksekusi seharusnya dilakukan oleh Kepolisian dan Panitera atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian menata kembali prosedur tetap Satpol PP agar lebih responsif dalam melakukan upaya penertiban.

Semoga atas insiden Berdarah Priok, semua pihak dapat melakukan pembelajaran, agar di masa yang akan datang tidak terjadi bentrokan yang menimbulkan korban jiwa. Penegakan hukum atas bentrokan tersebut, juga harus dilakukan agar memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi para pihak yang dilanggar hak-haknya.

-Aditya Nugraha Iskandar-
Koordinator Kadispel Iskandar Centre

Cerita Tentang Teh

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Malam ini seperti biasanya malam di Jakarta. Hiruk pikuk mobilitas manusia urban. Lampu kota pun menari-nari mewarnai saat malam tiba. Ribuan kendaraan bermotor berbaris di jalan seperti koloni semut. Gedung-gedung tinggi kokoh berdiri dengan polesan cantik lampu-lampu. Entah berapa ribu watt listrik yang dibutuhkan, hanya untuk mempercantik diri atau sekedar memanjakan mata-mata kaum urban. Malam kali ini hujan turun membias debu-debu yang semakin pekat. Tak begitu deras. Air hujan selalu adil. Ia turun dari langit tanpa pandang bulu. Semua disiraminya, genting, dahan, aspal, atap mobil, bahkan tanah yang menjadikannya lenyap.

Di sudut kota, tepatnya dipelataran pertokoan Cikini Raya aku merebahkan diriku di sebuah cafe kecil. Sambil membaca buku yang baru ku beli, aku berusaha menghilangkan penat di otaku. Penat akibat kerja, kemacetan, Media yang penuh berita kriminalitas atau asap hitam bus. Kadang aku berpikir, di sudut lain ada banyak entitas seperti diriku di kota ini. Tapi kota ini menyimpan kemuramannya dengan hingar-bingarnya musik club, dengan kegenitan barang-barang di mall atau akobratik para pejabat.

Sambil membaca novel "Haji Murat" karya Leo Tolstoy, aku menikmati secangkir teh hangat. Teh hangat memang obat mujarab merefleksi otak saat hujan turun diiringi penat kehidupan. Di sudut ruangan cafe, tepatnya sebelah kiri, terlihat seorang gadis. Muka nya begitu menarik buatku. Terlihat sederhana layaknya orang Indonesia pada umumnya. Wajahnya terlihat sedang memandangi rintik hujan yang turun di luar. Rasa penasaran menuntunku untuk menghampiri gadis itu. Ia sedikit pendiam. Namanya Kirana, ia salah satu mahasiswi Universitas di Jakarta. Saat aku memulai pembicaraan, teh pesananku tiba diantarkan pramusaji. "Suka teh?" tanyanya. "Iya, saya suka teh dari rasa dan harumnya. Kalau kamu juga suka teh?" balasku. "ya, aku menyukainya." Setelah obrolan kami tentang teh, maka percakapan kami menjadi lancar. Mengalir seperti air hujan yang semakin deras di luar sana. Ternyata hari ini aku punya cerita. Cerita tentang teh.

Cerpen
-Aditya Nugraha Iskandar-
Jakarta, April 2010

Pertanggung Jawaban Korporasi dalam Delik Lingkungan

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Dewasa ini masalah pencemaran lingkungan hidup semakin meningkat dari waktu, ke waktu, baik kegiatan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh individu maupun oleh badan hukum ( korporasi ). Kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi patut kita waspadai, karena kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi adalah yang paling potensial pada masa kini dan tentu saja sangat memiliki dampak yang berbahaya bagi kelangsungan lingkungan hidup dan sekitarnya. Bahkan Barda Nawawi Arif memaparkan hal-hal yang menjadi masalah sentral dunia saat ini adalah: perkembangan kongres-kongres PBB mengenai the prevention of crime and the treatment offenders dalam dua dekade terakhir ini sering menyoroti bentuk-bentuk dimensi kejahatan terhadap pembangunan ( crime against development ), kejahatan terhadap kesejahteraan social ( crime against social welfare ), dan kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup ( crime against the quality of life ).

Pembangunan yang terjadi secara besar-besaran dan tanpa memperhatikan aspek lingkungan menjadi persoalan utama bagi lingkungan hidup. Keterkaitan masalah-masalah pembangunan dengan masalah kesejahteraan masyarakat dan masalah lingkungan hidup pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah lingkungan hidup menjadi paling hangat untuk disoroti oleh berbagai pihak. Hal ini karena lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan kelangsungan makhluk hidup dan kesejahteraan makhluk hidup. Dengan melihat besarnya pengaruh korporasi dalam pencemaran lingkungan hidup dewasa ini, maka sudah selayaknya apabila korporasi tersebut dimintai pertanggung jawaban secara pidana

Sejarah mencatat banyak negara-bangsa mengamini ide-ide demokrasi dan menerapkannya tidak saja ke tata pemerintahan (government), tapi juga ke berbagai tata kelola (governance) masyarakat. Berbagai program sosial dan regulasi ekonomi diciptakan untuk melindungi warganya. Namun, mulai akhir abad ke-20, di bawah tekanan dari lobi-lobi korporasi atas nama globalisasi, banyak pemerintahan mulai menerapkan kebijakan neoliberal. Akibatnya, pemerintah dipinggirkan dan bisnis mulai memegang kendali. Sementara deregulasi melepaskan bisnis dari aturan, privatisasi memungkinkan mereka ( para korporasi global ) untuk mengelola berbagai area yang menjadi sector hidup bersama, yang tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Gejala ini disebut ‘pengambilalihan diam-diam’ (silent take-over). Bisnis dalam rupa korporasi menjelma menjadi institusi yang sangat dominan, yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas sipil. Akibatnya, berbagai malapraktik yang dilakukan oleh korporasi berjalan terus tanpa kendali.

International Amnesty (2003) dan Human Rights Watch (2004) melaporkan berbagai bisnis internasional terlibat luas dalam pelanggaran HAM di daerah operasi mereka di seluruh dunia mulai penyiksaan pekerja, penggusuran, penyingkiran paksa, menghambat buruh berserikat, melanggar hak-hak dasar pekerja perempuan, mempekerjakan buruh anak, hingga mengobrak-abrik hak-hak masyarakat adat, serta merusak lingkungan hidup.

Sebagai respons, konsepsi CSR yang merupakan bentuk tanggung jawab korporasi, mulai digiatkan lagi kepada komunitas bisnis. Padahal, ia bukan hal baru. CSR sudah ada sebagai bagian dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan di mata publik. Tapi, lewat gugatan ketat logika para pemodal, tanggung jawab korporasi ini membuahkan dilema. Di satu sisi, CSR merupakan klaim atas inisiatif yang menunjuk bahwa bisnis tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk kemaslahatan pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan hidup. Global Compact Initiative (2002) menyebut pemahaman ini dengan 3P (profit, people, planet). Yaitu, bahwa sementara tujuan bisnis adalah mencari laba (profit), ia seharusnya juga menyejahterakan orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini.

Namun, di sisi lain, pakar bisnis malah melihat CSR sebagai amoral. Konsultan bisnis Peter F Drucker dalam buku The Corporation (2004) bilang, ”Jika Anda menemui seorang eksekutif di perusahaan Anda yang ingin menjalankan tanggung jawab sosial, pecat dia. Segera.” 2 Milton Friedman pun yakin bahwa apa yang disebut dengan CSR itu sesungguhnya amoral. Dalam buku yang sama ia bilang, ”Perusahaan itu milik pemegang saham dan kepentingannya adalah kepentingan para pemegang saham, yaitu mencari untung.3 Haruskah kini perusahaan membelanjakan uang para pemegang sahamnya untuk suatu tujuan yang dianggap bertanggung jawab secara sosial, tapi tidak berhubungan dengan kepentingan para pemegang saham (yaitu mencari untung) itu? Jawabannya tentu saja tidak.” Bagi Friedman, hanya ada satu ‘tanggung jawab sosial’ para eksekutif perusahaan: mencari untung sebanyak-banyaknya.

Inilah imperatif moral bisnis. Maka, eksekutif yang menempatkan upaya-upaya sosial dan perlindungan lingkungan lebih tinggi dari upaya-upaya mencari untung (yang mencoba bermoral) sesungguhnya bertindak amoral. Dalam logika ini, maka CSR hanya bisa ditoleransi ketika ia dijalankan dengan tidak tulus. Eksekutif perusahaan yang memanfaatkan nilai-nilai sosial dan lingkungan hidup sebagai cara untuk memaksimalkan laba pemegang saham, bukan demi nilai itu sendiri, tidak bersalah.

Seperti menempatkan gadis cantik di depan mobil untuk menjual mobil, tujuannya bukan mempromosikan kecantikan, melainkan menjual mobil tersebut. Niat baik bisa dipakai untuk menjual. Good intentions can sell goods. Kebaikan moral, sebaliknya, justru menjadi amoral ketika ia tidak membawa untung bagi perusahaan. Begitulah logika ketat yang dipakai Friedman dan Drucker. Atas dilema ini, Anita Roddick (2004) menuduh ‘agama akumulasi laba’ yang dihembuskan oleh neoliberalisme sebagai biang keladi. Paham ini memaksa orang baik di korporasi untuk melakukan hal-hal tak baik demi laba: ‘Untung di atas segala-galanya’. Karena harus menggenjot laba, apa pun menjadi sah untuk tujuan itu, mencemari lingkungan hidup, menggunakan buruh anak, atau memecat ribuan buruh.4 Inilah mengapa gagasan mengenai pertanggung jawaban korporasi dalam delik lingkungan perlu kembali dipikirkan

Penegakan hukum pidana lingkungan dapat berupa preventif dan represif. Penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat preventif adalah penegakan hukum sebelum terjadinya pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup. Hal ini erat kaitannya dengan masalah administrasi lingkungan, yaitu : pemberian izin. Dalam pemberian izin usaha, pemerintah hendaknya memperhatikan dampak social dan dampak lingkungan hidup yang akan timbul dari kegiatan usaha tersebut. Sedangkan penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat represif adalah penegakan hukum setelah terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Dalam hukum lingkungan, penegakan hukum secara preventif harus lebih diutamakan, karena penanggulangan akibat pencemaran melalui penegakan hukum represif memerlukan biaya yang sangat besar. Di samping itu kerugian yang akan diderita oleh lingkungan sebagai akibat dari pencemaran, tidak mungkin dapat dipulihkan kembali dalam waktu yang cepat.Koesnadi berpendapat bahwa upaya penegakan hukum lingkungan yang harus dilakukan lebih dahulu adalah yang bersifat compliance, yaitu pemenuhan peraturan, atau penegakan hukum preventifnya dengan pengawasannya

Sementara itu, penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan perlu memperhatikan asas subsidaritas sebagai berikut: sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidaritas yaitu hendaknya hukum pidana didayagunakan apabila sanksi dibidang hukum lain, seperti sanksi administratif, dan sanksi perdata, dan alternative penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan / atau tingkat kesalahan pelaku relative berat dan / atau akibat perbuatannya lebih besar dan / atau perbuatannya menimbulkan keresahan di masyarakat.

Ada tiga pendapat para pakar hukum pidana jika korporasi menjadi subjek hukum:
1. Tidak pernah memikirkan adanya eksistensi badan hukum atau korporasi. Perbuatan yang dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi harus dipandang sebagai perbuatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi, jadi penguruslah yang bertanggung jawab. Pendapat ini mengacu pada asas umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), yaitu bahwa sebuah perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia ( naturlijke person ). Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal 59 KUHP yang berbunyi : jika ditentukan pidana karena pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena kesalahannya.
2. Mengakui korporasi sebagai pembuat namun yang harus bertanggung jawab adalah pengurusnya.
3. Mengakui bahwa korporasi dapat menjadi pembuat dan yang bertanggung jawab. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling maju yang menganggap korporasi sebagai subjek hukum sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Latar belakang dari pemikiran ini, sehingga korporasi dapat dijatuhi hukuman pidana antara lain karena ada anggapan bahwa keuntungan materi yang diperoleh oleh korporasi dari hasil usahanya amatlah besar, maka pidana yang dijatuhkan kepada pengurus dirasa tidak seimbang dan tidak menjamin korporasi untuk tidak mengulangi perbuatan pidana tersebut.

Perbuatan tercela dan kejahatan terhadap lingkungan tidak hanya manusia sebagai badan pribadi yang dapat melakukannya, akan tetapi korporasi sebagai suatu badan hukum dapat pula melakukan perbuatan itu yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain, baik individu atau masyarakat. Ketentuan pidana dalam pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982 diawali dengan kata-kata barang siapa yang menunjuk pada pengertian orang. Menurut pasal 5 ayat 2 bahwa, “ setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah kerusakan dan pencemarannya”. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal 5 dinyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan pengertian orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu maupun badan hukum dapat menjadi subjek perbuatan pidana dalam lingkungan hidup.

Pelaksanaan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab dalam delik lingkungan tetap harus melihat unsur kesalahan dalam perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pembuat suatu perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam ilmu hukum hal ini kita kenal dengan asas “ tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zoonder schuld )”. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah atau ia tidak memiliki unsur kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya sebagai pertanggung jawaban. Untuk menentukan adanya kesalahan pada seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab si Pembuat
2. Hubungan batin antara si Pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alas an pemaaf.

Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, tidak hanya dikenal dalam UU No.23/1997. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Anti Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) juga mengatur pertanggungjawaban atas kejahatan korporasi.Sally S. Simpson menyatakan "corporate crime is a type of white-collar crime". Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law"

Simpson menyatakan ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi.
Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
Kedua, baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya, termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors) dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.

Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Parahyangan, Stefanus Hariyanto, mengatakan dalam kasus kejahatan korporasi yang dijatuhi hukuman pidana adalah perusahaannya. Menurutnya, kalau direktur juga ikut dipidana maka persoalannya sudah menjadi personal crime. Stefanus berpendapat, apabila menuntut korporasi saja, maka sanksi pidananya adalah denda, tidak termasuk penjara. “Ini yang orang sering salah kaprah, dalam hukum pidana ada asas legalitas, sehingga direktur ini tidak bisa dipidanakan bila belum ada aturannya,”.

Oleh sebab itu dia berpendapat, yang seharusnya didakwa bukan hanya korporasi tapi juga individu-individu yang dianggap bertanggung jawab atas pencemaran tersebut, termasuk direkturnya. Stefanus menjelaskan, perlu ada pemahaman bahwa dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime.

Dia menekankan, harus dipisahkan sanksi terhadap korporasi dan juga individu. Memang logikanya jika korporasinya bersalah maka direksinya juga bersalah, karena yang melakukan tindakan korporasi adalah direksi. Namun, dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea (guilty mind) yang dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because the person committing it intended to do something wrong, This mental state is generally referred to as Mens rea”

Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo, mempunyai pendapat yang berbeda dengan Stefanus. Menurutnya, dalam hal korporasi sebagai terdakwa, maka dianggap korporasi ini yang mempunyai mens rea. Sehingga di mata Harkristuti, harus dibuktikan dalam pengadilan perbuatan apa yang dilakukan oleh (karyawan) perusahaan tersebut. Hal ini (corporate crime) adalah suatu pengecualian, karena biasanya mens rea ini terletak pada manusianya, tapi dalam hal ini perusahaan dianggap memiliki mens rea. Harkristuti mendasarkan argumennya berdasarkan ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No.23/1997 serta prinsip mengenai fiduciarie duties yang dianut dalam Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Dia melihat, lembaga peradilan memang agak canggung untuk membawa korporasi ke pengadilan. Namun seingatnya, pernah ada dua kasus serupa yang pernah diputus oleh pengadilan, dimana direktur perusahaan dijatuhi pidana kurungan karena tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan.

Mengenai dugaan pelanggaran izin yang diperoleh korporasi. Stefanus berpendapat hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, “Kalau yang dilanggar adalah hukum administrasi berarti dia melanggar perizinan. Jadi harus dibuktikan apakah korporasi melanggar ambang batas yang ditentukan dalam izin. Baru diperiksa apakah pelanggaran terhadap ambang batas tersebut menimbulkan pencemaran,” paparnya.

Lebih jauh menurutnya, kalau pelanggaran ini menimbulkan pencemaran, maka korporasi bertanggung jawab secara pidana dan juga perdata. “Yang berlaku dalam Undang-Undang Lingkungan adalah delik formal. Artinya begitu terbukti melanggar hukum administrasi (ambang batas) maka sekaligus melanggar hukum pidana,” ujar Stefanus.

Sementara itu, Walhi berpendapat tindakan korporasi merusak lingkungan merupakan kesalahan korporasi. Pasalnya, pihak korporasi biasanya rutin melakukan monitoring terhadap system kerja para karyawan karena kalau ada kesalahan individual akan langsung kelihatan. korporasi dan direksinya bisa dimintai pertanggungjawaban terhadap pencemaran. Sebab, korporasi telah memiliki sistim aturan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja. Dalam sebuah kasus lingkungan yang melibatkan WALHI dengan sebuah perusahaan penyedot asap di Jawa Timur, pengadilan pernah menyatakan korporasi bersalah telah melakukan pencemaran. Pengadilan menilai, keputusan untuk membuang limbah tersebut bukanlah keputusan manajerial. Saat ini perkara tersebut masih di tingkat kasasi.

Kejahatan korporasi yang disampaikan oleh Joseph F. Sheley kedalam beberapa jenis, antara lain:
Defrauding the stock holder : Perusahaan yang tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan kepada para pemegang saham.

Defrauding the public : mengelabui publik tentang produk-produknya yang mutu dan bahan-bahanya prima dan dapat dipertanggung jawabkan, isi iklan yang tidak benar.

Defrauding the Government : Membuat laporan pajak yang tidak benar.
Endangering employees : Perusahaan yang kurang memperhatikan keselamatan kerja para karyawannya.

Illegal intervention in the political process : Berkolusi dengan partai politik dengan memberikan sumbangan kampanye.
Endangering the publik welfare : Proses produksi yang menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan (debu, limbah B3, suara dan sebagainya).



DAFTAR PUSTAKA

1) Anto Sangaji, Potret Buruk Taman Nasional Lore Lindu : Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan.
2) Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
3) I Nyoman Nurjaya, Sejarah Hukum Pengelolahan Hutan Di Indonesia.
4) Ivan Valentina Ageung “Today, corporation govern our lives. They determine what we eat, what we watch, what we wear, where we work, and what we do. We are inescapably surrounded by their culture, iconography, and ideology”, diambil dari www.google.com, pada hari Selasa 10 Juni 2008.
5) Koesnadi Harjdasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1999.
6) Koesparmono, Kejahatan Dimensi Baru. Makalah pada seminar kejahatan teroganisir di UGM, 30 September 1996. Yogyakarta.
7) Mass Ahmad Santosa, Good Gorvenance Hukum Lingkungan 2001.
8) Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. Hukum Pidana oleh Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. N. Keijzer, Mr. E. Ph. Sutorius. Liberty. Yogyakarta.
9) Sudarto dan Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. 1994.
10) Yanuar Nugroho, Dilema tanggung jawab korporasi, selasa 23 Agustus 2005, opini Media Indonesia. Diambil dari www.media Indonesia.com, pada hari Selasa 10 Juni 2008

Oleh : Aditya Nugraha Iskandar
Koordinator Divisi Kadispel Iskandar Centre

Memberikan Bantuan Hukum Kepada Si Fakir ( Antara Jargon dan Realitasnya )

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar


Salah satu asas hukum acara pidana yang paling penting adalah bahwa setiap orang yang berpekara dalam persidangan wajib diberikan bantuan hukum. Hal ini demi menjamin hak-hak orang tersebut dalam melakukan pembelaan dipersidangan. Secara umum ketentuan bantuan hukum sudah cukup baik. Namun dalam hal pelaksanaan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu masih mengalami beberapa kendala.

Sebagai wujud kewajiban Negara dalam melindungi warga negaranya, maka sudah seharusnya Negara juga memiliki kewajiban terhadap warga negaranya yang tersangkut masalah dalam proses peradilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membela kepentingannya seorang diri. Negara Indonesia yang menganut paham sebagai Negara kesejahteraan, yaitu Negara menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya maka sudah seharusnya Negara wajib menjamin hak-hak orang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hukum nya. Kewajiban Negara untuk memberikan bantuan hukum khususnya kepada mereka yang tidak mampu merupakan bagian yang penting karena hal tersebut telah diamanatkan oleh konstitusional.

Konstitusi Indonesia yang dijadikan landasan kuat adalah pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Selanjutnya, pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 berbunyi:
“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”
Kemudian dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh advokat atau pembela umum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menegaskan "Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara". Pasal-pasal dalam konstitusi tersebut telah mengamanatkan secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwa negara bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin.

Hak-hak fakir miskin ini meliputi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), sipil, dan politik dari fakir miskin. Melihat pada ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (4) yang dihubungkan dengan Pasal 34 (1) UUD 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin untuk memperoleh pembelaan baik dari advokat maupun pembela umum melalui suatu program bantuan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi fakir miskin / orang yang tidak mampu, yang harus dijamin perolehannya oleh negara. Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis itu dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses memperoleh keadilan bagi semua orang. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali.

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Semua orang memiliki hak diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang.

Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Kalau seorang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum.

Menurut data dari BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Data statistik tersebut membuktikan kehadiran organisasi bantuan hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum bagi fakir miskin sangat penting. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial, antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum.

Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum memadai. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum. Ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat karena hal ini telah dijamin pula oleh Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut, perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai bantuan hukum, antara lain penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN dan penunjukan secara tegas lembaga-lembaga apa saja yang wajib memberikan bantuan hukum.

Selain itu organisasi bantuan hukum harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum. Perlu ditekankan gerakan bantuan hukum harus mengubah paradigmanya, dari konsep bantuan hukum yang menempatkan organisasi bantuan hukum berseberangan dengan pemerintah, menjadi menempatkan negara sebagai mitra organisasi bantuan hukum dalam rangka program pengentasan kemiskinan.

Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin harus diberikan secara masif dan mengajak negara cq pemerintah serta semua unsur masyarakat, untuk memperkenalkan dan mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin di kota-kota maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma.

Suatu organisasi bantuan hukum tidak boleh menolak memberikan bantuan hukum dalam suatu bidang hukum tertentu. Kalau tidak mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut, organisasi bantuan hukum tersebut dapat melimpahkan perkara atau bekerja sama dengan organisasi bantuan hukum lain. Dalam pembelaan hak fakir miskin, tidak boleh dibedakan apakah yang dilanggar itu hak kolektif atau hak individu dari fakir miskin.

Diharapkan konsep bantuan hukum responsif ini dapat memperluas jangkauan pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin dengan menjadikannya sebagai gerakan nasional agar fakir miskin mengetahui dan dapat menuntut hak-haknya. Dalam gerakan nasional bantuan hukum yang akan digerakan oleh Lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada, akan melaksanakan bantuan hukum mulai dari pemberitahuan kepada masyarakat yang tidak mampu terhadap hak-hak nya dihadapan hukum sampai pendampingan mereka yang berpekara dipersidangan.

Sudah saatnya pemberian bantuan hukum kepada fakir miskin yang diposisikan sebagai kaum yang lemah tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh semua lembaga-lembaga hukum dengan berbagai alasan, karena hal ini sudah sangat jelas dijamin oleh konstitusi Negara kita.

Oleh :
Aditya Nugraha Iskandar
-Koordinator Kadispel Iskandar Centre-

Logika Uang Dunia Pendidikan

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Logika yang dibangun dalam kehidupan bangsa Indonesia saat ini adalah logika uang. Kekuasaan uang dapat menghimpun semua kemauan sang Pemilik uang. Bahasa simple nya adalah yang punya uang yang berkuasa. Indonesia memasuki ke dalam labirin logika tersebut dan tersendat-sendat keluar dari permasalahannya.

Hal ini tidak terlepas dari politik ekonomi internasional yang sering disebut dengan Washington consesus yang dikomandoi oleh Adikuasa AS. Konsensus Washington sendiri terdiri atas disiplin fiskal, privatisasi, dan liberalisasi.

Celakanya Indonesia mengamini hal tersebut, walaupun dengan jelas ada ketimpangan dalam kesepakatan Washington tersebut. Akibatnya kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial terus terjadi. Orang miskin tetap akan terjebak dalam labirin kesengsaraan karena segala subsidi dicabut atas alasan prinsip war market (perang pasar).

Konsesus Washington terus masuk dalam semua lini kehidupan masyarakat, tak terkecuali dunia pendidikan. Subsidi dalam dunia pendidikan harus dicabut lewat liberalisasi kampus-kampus negeri. Alasan mereka sangat dangkal. Dunia pendidikan selama ini dituduh melakukan pemborosan dalam keuangan negara, sehingga kampus dibiarkan otonom bergerak sendiri mencari uang. Padahal amanat konstitusi jelas-jelas menegaskan bahwa masalah pendidikan adalah tanggung jawab negara dalam memenuhi nya. Kampus dibiarkan menjadi seperti perusahaan dalam menjalankan aktifitasnya. Baru-baru ini kita tentu mendengar protes keras warga UGM terhadap kebijakan portalisasi kampus UGM, yang dicurigai adalah karena alasan potensi pemasukan uang dalam portalisasi UGM. Menilik lebih jauh, disah kan nya UU BHP telah membuka lebar pintu masuk liberalisasi kampus.

Akibat dari liberalisasi kampus adalah logika uang yang masuk dalam dunia pendidikan. Siapa yang punya uang? dia dapat menikmati pendidikan tinggi disemua kampus. Lalu kemanakah orang miskin dalam dunia pendidikan?. Dalam hukum rimba, siapa yang kuat? maka dia yang menang. Orang miskin akan tetap menjadi korban ketidakadilan struktur sosial, ekonomi dan hukum. Orang miskin akan tetap bodoh, lapar dan tidak sehat jiwa serta raganya. Labirin kesengsaraan akan tetap mengunci orang miskin sampai dia mati. Dimanakah peran negara?. Jelas negara telah berpihak pada kalangan atas karena logika uang telah menghantui jalan pikiran mereka.

Satu-satu nya jalan dalam permasalahan ini adalah mengembalikan dunia pendidikan dalam tugas sejatinya untuk menciptakan intelektual-intelektual bangsa. Bukan menciptakan tenaga siap pakai dunia pasar. Negara harus bersandar pada kebijakan konstitusi dalam menentukan kebijakan. Setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, bukan hanya yang punya uang. Logika uang harus kita runtuhkan.

I LOVE U FULL

- Aditya Nugraha Iskandar-
Koordinator Kadispel Iskandar Centre

Teknik Propaganda

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar



PENDAHULUAN

“ Propaganda”, sebuah kata yang popular namun kini telah kehilangan maknanya karena tertutupi oleh stigma-stigma negatif yang melingkupi dirinya. Suatu hal yang umum ketika kata ”propaganda” terdengar atau terlihat maka kata tersebut tidak terlepas dari stigma negatif yang berkaitan dengan propaganda tersebut atau dipaksakan berkaitan karena pada suatu massa kata-kata tersebut sangat bertalian erat dengan propaganda, misalnya kata perang dunia, konspirasi politik, media, pemerintah, pembodohan massal, informasi yang salah, hingga mengacu ke kata fasisme, nazi bahkan sosialisme. Sulit rasanya menyandingkan propaganda dengan demokrasi, padahal diakui oleh pakar public relation, Edward L.Bernays bahwa propaganda adalah tujuan komunikasi dalam masyarakat yang berdemokrasi.

Stigma yang negatif tentang propaganda tidak akan terbentuk tanpa adanya suatu rekayasa sosial, dan rekayasa sosial tanpa melanggar hak asasi manusia tidak akan terwujud tanpa adanya komunikasi persuasif untuk mempengaruhi masyarakat (audiens) yang menjadi targetnya. Inti dari komunikasi persuasif adalah propaganda, dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa stigma negatif tentang propaganda merupakan produk dari propaganda itu sendiri.

Terlepas dari stigma negatif tersebut, pada kesempatan kali ini saya mencoba mengupas propaganda dari sisi ilmiah dengan berpijak pada literatur dan sejarah mengenai propaganda. Harapan saya agar pembaca mendapatkan perspektif yang baru dari propaganda dengan demikian dapat menjadi bahan evaluasi dan pemberdayaan bagi pembaca dalam merefleksikan propaganda.

SEJARAH

Pada awal mulanya, propaganda dipakai untuk mengembangkan dan memekarkan agama Katholik Roma baik di Italia maupun negara-negara lain. Di tahun 1922, tak lama setelah perang 30 tahun, untuk pertama kalinya kata propaganda pertama kali digunakan. Sri Paus Gregory menggunakan istilah propaganda untuk menamakan panitia khusus untuk menyebarkan keyakinan. Panitia tersebut bernama Congregatio de Propaganda Fide (kelompok penyebar keyakinan). Tugas utama kelompok ini adalah menyebarkan doktrinasi katolik ke dalam negara-negara non-katolik ( wilayah misi). Conggregatio de Propaganda Fide adalah komite tetap kardinal yang bertanggung jawab atas aktivitas misionairs katolik Roma sejak1622.

Sejalan dengan tingkat perkembangan manusia, propaganda tidak hanya digunakan dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam bidang pembangunan, politik, komersial, pendidikan dan lain-lain.

DEFINISI

Bruce L Smith (Encyclopedia Social Science)
”Manipulasi relatif secara sengaja dengan menggunakan simbol (kata-kata,sikap,bendera, atau musik) terhadap pikiran atau tindakan orang lain dengan sasaran terhadap kepercayaan, nilai dan perilakunya.

Don Nimmo (Pakar Komunikasi)
“Usaha yang disengaja dan sistematis untuk mencapai respon yang lebih jauh lagi merupakan tujuan yang diinginkan penyebar propaganda”

Jozef Goebbels (Menteri Propaganda NAZI)
“Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya. Tentang kebohongan ini, Bahkan Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang dirubah sedikit saja”

Everyman's encyclopedia
”Propaganda merupakan suatu seni untuk menyebarkan dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya kepercayaan agama atau politik.”

Leonard W. Dobb, (Pakar opini publik)
”Menyatakan bahwa propaganda merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh individu-individu yang berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok termasuk dengan cara menggunakan sugesti, sehingga berakibat menjadi kontrol terhadap kegiatan kelompok tersebut.”

Jacques Ellul
”Mendefinisikan propaganda sebagai komunikasi yang “digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, diersatukan secara psikologis dan tergabungkan di dalam suatu kumpulan atau organisasi.”

PROPAGANDA DAN KOMUNIKASI

• Unsur kesengajaan dan manipulasi membedakan propaganda dari komunikasi biasa atau pertukaran informasi secara bebas.
• Propaganda adalah Komunikasi Satu Arah (One Step Communication) yang dilakukan oleh suatu Individu atau Institusi terhadap Khalayak luas / Massa (One to many)
• Propaganda adalah salah satu bentuk Komunikasi Massa
• Teori S-O-R dan Bullet Theory (Teori Peluru) / Model Jarum Hipodermik (Hypodermic Needles Theory) mendukung konsep Propaganda

Penemu Teori ini Melvin Defleur mengasumsikan bahwa media menyajikan stimuli perkasa yang diperhatikan khalayak secara seragam. Teori peluru (Bullet Theory) mendukung Teori S-O-R pada konsep Propaganda karena mengasumsikan bahwa khalayak dianggap tidak berdaya dan ditembaki secara terus menerus oleh Pesan Pesan yang sudah dirancang sedemikian rupa.

Komunis memberikan pengertian lain tentang propaganda ini. Dalam koleksi
tulisan Lenin yang terbit tahun 1929 berjudul Agitation und Propaganda

Dalam buku tersebut Lenin Membedakan antara Propaganda dan Agitasi :

• Propaganda yang didefinisikan sebagai argumentasi akal, pikiran dari filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan untuk mempengaruhi orang yang terdidik yang cerdas.

• Agitasi yang diartikan penggunaan slogan slogan emosional, setengah kebenaran, ungkapan ungkapan untuk mempengaruhi orang orang yang tidak terdidik, setengah terdidik dan kurang cerdas.

METODE PROPAGANDA

• Metoda Koersif, sebuah komunikasi dengan cara menimbulkan rasa ketakutan bagi komunikan agar secara tidak sadar bertindak sesuai keinginan komunikator

• Metoda Persuasif, sebuah komunikasi dengan cara menimbulkan rasa kemauan secara sukarela bagi komunikan agar secara tidak sadar dengan seketika dapat bertindak sesuai dengan keinginan komunikator

• Metoda pervasif, sebuah komunikasi dengan cara menyebar luaskan pesan serta dilakukan secara terus menerus/berulang-ulang kepada komunikan sehingga melakukan imitasi atau menjadi bagian dari yang diinginkan oleh komunikator


KARAKTERISTIK PROPAGANDA

• Merupakan komunikasi yang disengaja dan dirancang untuk mengubah sikap orang yang menjadi sasaran.
• Menguntungkan bagi si pelaku propaganda untuk memajukan kepentingan orang yang dituju
• Merupakan informasi satu arah berlawanan dengan komunikasi yang mempunyai dua arah dan interaktif.

JENIS JENIS PROPAGANDA

Propaganda dapat digolongkan menurut kealamiahan dan menurut sumber pesan yaitu White Propaganda, Grey Propaganda dan Black Propaganda.

White Propaganda biasanya datang dari suatu sumber yang dikenali, dan ditandai oleh metode bujukan lebih lemah lembut, seperti standar teknik Publik Relation dan presentasi berat sebelah dari suatu argumentasi .

Black Propaganda terkadang berasal dari sumber-sumber yang bersahabat, tetapi benar-benar dari suatu musuh. Black Propaganda ditandai oleh presentasinya tentang informasi sumbang/palsu untuk menimbulkan suatu tanggapan diinginkan, dan sering digunakan di dalam rahasia militer atau tempat berlindung operasi psikologis dan oleh jaringan organisasi besar seperti pemerintah atau jaringan teroris.

Black Propaganda menggunakan berbagai macam media sebagai instrumennya mulai dari suat kabar, selebaran resmi atau tidak resmi, siaran radio hingga film produksi Holywood.

Grey Propaganda mungkin datang dari suatu sumber yang menyatakan dirinya netral atau ramah, dan menghadirkan banyak informasi yang menyesatkan dalam suatu cara yang lebih tersembunyi / membahayakan dibanding white propaganda. Kalimat dari grey propaganda ini terkadang tidak logis atau tidak rasional. Tujuannya adalah sebagai upaya persuasif untuk menimbulkan efek emosional bagi target audiensnya

TEKNIK TEKNIK PROPAGANDA

1. Name Calling
Propagandis menyentuh sibol simbol emosional kepada seseorang atau sebuah negara. Targetnya diharapkan merespons sesuai yang dikehendaki propagandis tanpa perlu lagi memeriksa atau mencari bukti bukti. Dengan demikian artinya propagandis semacam menanamkan stereotipe terhadap sasarannya

Contoh : Muncul istilah ”Merah” untuk komunis
Pemimpin buruh menjadi ”bos serikat buruh”

2.Glittering Generalities
Merupakan kebalikan dari teknik Name Calling, Propagandis menggunakan kata kata bermakna ”Positif”. Teknik propaganda ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan mengidentifikasi dirinya dengan segala apa yang serba luhur dan agung. Dengan kata lain propagandis berusaha menyanjung dirinya mewakili sesuatu yang luhur dan agung. Ungkapan kata-kata “demi keadilan dan kebenaran” menjadi salah satu ciri teknik propaganda ini.

Contoh : 1. Istilah “Dunia Bebas” (free World) adalah generalitas favorit Propagandis barat.
2. “Solidaritas Sosial” dipakai dunia komunis untuk menggambarkan hubungan kompleks diantara negara dan partai Komunis.
3. ”Jiwa Afrika” (The African Soul) diharapkan menciptakan citra kesatuan dan persatuan diantara bangsa Afrika.

3. Bandwagon
Teknik ini digunakan dalam rangka meyakinkan kepada sasaran bahwa semua anggota suatu kelompok (di mana sasaran menjadi anggotanya) menerima programnya, dan oleh karena itu sasaran harus mengikuti kelompok dan segera menggabungkan diri pada kelompok. Dengan kata lain Bandwagon adalah usaha komunikasi persuasif untuk membujuk sasaran mengambil tindakan yang “everyone else is taking, why dont you?”

Contoh: 1. Fruit Tea, Minumannya anak muda
2. U.S. Needs US Strong

4. Transfer
Transfer meliputi kekuasaan, sanksi dan pengaruh sesuatu yang lebih dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat “sesuatu” lebih bisa diterima.
Teknik propaganda transfer bisa digunakan dengan memakai pengaruh seseorang atau tokoh yang paling dikagumi dan berwibawa dalam lingkungan tertentu. Propagandis dalam’hal ini mempunyai maksud agar komunikan terpengaruh secara psikologis terhadap apa yang sedang dipropagandakan. Transfer juga bisa digunakan dengan menggunakan cara simbolik, kata-kata atau Musik.

5. Plain Folks
Propagandis sadar bahwa pendekatan persuasif mereka akan terhambat Jika mereka tampak di mata audiensnya sebagai "orang asing". Oleh sebab itu mereka berusaha mengidentifikasikan sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran propaganda dengan menggunakan aksen dan idiom lokal. Dalam upaya meyakinkan sasaran bahwa dia dan gagasan gagasannya bagus karena merupakan bagian dari rakyat.

Contoh : Pada kampanye Pilgub, Pilkada atau Pilpres. Sang calon biasanya menyalami anak kecil, berinteraksi dengan kaum papa atau memeluk dan mencium kaum papa

6. Testimonial (Kesaksian)
Salah satu teknik propaganda yang paling umum digunakan, dimana ditampilkan seseorang (biasanya memiliki reputasi tertentu) untuk bersaksi dengan tujuan mendukung atau tidak mendukung suatu Konsep, Ide, Gagasan atau Produk.

Terkadang Propagandis juga menggunakan lembaga yang dapat dipercaya untuk mendukung atau mengkritik sebuah gagasan atau kesatuan politik, variasi dari propaganda ini adalah mengkaitkan
sesuatunya dengan “kekuasaan” agar sasaran mempercayainya karena “otoritas” yang mengatakan hal itu.

7.Selection
Hampir semua propagandis bahkan ketika menggunakan teknik lain seperti diulas
sebelumnya tergantung pada seleksi fakta, meskipun jarang sangat spesifik dalam
isi faktanya. Ketika presentasi rinci diberikan, propagandis menggunakan hanya
fakta-fakta yang tersedia untuk "membuktikan" sasaran yang telah ditentukannya.

8. Card Staking
Meliputi pemilihan dan pemanfaatan fakta atau kebohongan, ilustrasi atau penyimpangan, dan pernyataan-pernyataan logis atau tidak logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada suatu gagasan, program, orang, atau produk. Teknik ini memilih argument atau bukti yang mendukung sebuah posisi dan mengabaikan hal-hal yang mendukung posisi itu. Argument-argumen yang dipilih bisa benar atau salah

9. Fear Appeal
Sebagai upaya untuk menimbulkan rasa takut. Tujuannya untuk membangun dukungan dengan menanamkan ketakutan di dalam populasi yang umum.

Contoh : Joseph Goebbels memanfaatkan Theodore Kaufman'S dari Jerman untuk mengakui bahwa Sekutu akan membasmi orang-orang Jerman.

10. Argumentum Ad Nauseam
Menggunakan pengulangan (repetisi). Penyebaran suatu gagasan yang diulang-ulang sepanjang waktu, dan gagasan tersebut dinyatakan sebagai suatu kebenaran. media penyebaran terbaik ketika media lainnya sangat sedikit / terbatas dan dikontrol oleh propagator.

11. Black and White Fallacy
Memperkenalkan hanya dua pilihan, dengan produk atau ide yang di sebarkan sebagai pilihan yang terbaik.
Contoh : Silahkan pilih, mesin yang tidak sehat atau menggunakan oli merek X.

12. Obtain Disapproval (Memperoleh Penolakan)
Teknik ini digunakan untuk membujuk suatu target pendengar untuk menyalahkan suatu gagasan atau tindakan dengan mengusulkan bahwa gagasan tersebut sangat terkenal untuk dibenci, menakutkan, atau menyimpan penghinaan terhadap target pendengar tersebut.Dengan begitu jika suatu kelompok mendukung suatu kebijakan tertentu didorong ke arah percaya bahwa yang tidak diinginkan, bersifat subversif, atau orang-orang tercela mendukung kebijakan yang sama, kemudian anggota kelompok boleh memutuskan untuk berubah posisi asli mereka.

13. Rasionalization
Kelompok atau Individu menggunakan keadaan umum baik untuk merasionalkan kepercayaan atau tindakan yang diragukan. ungkapan menyenangkan yang samar-samar sering digunakan untuk membenarkan kepercayaan atau tindakan tersebut.

14. Intentional Vagueness (Ketidakjelasan yang disengaja)
Keadaan umum yang dengan bebas di samar-samar sedemikian rupa sehingga pendengar dapat menafsirkan sendiri. Intentional bermaksud untuk menggerakkan pendengar dengan menggunakan ungkapan tak tergambarkan, tanpa meneliti mencoba atau membenarkan mereka untuk menentukan aplikasi atau bebijaksanaan mereka. Tujuannya adalah untuk menyebabkan orang-orang untuk menggambarkan penafsiran mereka sendiri daripada hanya diberikan suatu gagasan tegas/eksplisit.Dalam usaha untuk " menggambarkan" propaganda ini, pendengar membatalkan pertimbangan yang menyangkut gagasan yang dipresentasikan. Kebenaran mereka, aplikasi dan ketidakbijaksanaan tidaklah dipertimbangkan.

15. Falsifing Information (kesalahan informasi)
Pemusnahan atau penciptaan informasi dari arsip publik, dengan tujuan pembuatan suatu record/ catatan yang salah/palsu dari suatu peristiwa atau tindakan seseorang selama sesi pengadilan, atau mungkin dalam suatu pertempuran.

16. Unstated Assumption (Asumsi yang tidak dinyatakan)
Teknik ini digunakan dalam konsep propaganda ketika propagandis ingin menyebarkan akan nampak kurang nampak terpercaya jika secara terang-terangan dinyatakan. Hal tersebut akan berulangkali dijelaskan dihelaskan dan diperlihatkan.

17. Euphoria
Penggunaan dari suatu peristiwa yang menghasilkan euforia atau kebahagiaan berlebihan sebagai pengganti penyebaran kesedihan berlebihan, atau penggunaan suatu peristiwa yang baik untuk mencoba menutupi yang lain. Atau menciptakan suatu peristiwa perayaan dengan harapan dapat mendorong moril. Euforia dapat digunakan untuk mengambil pikiran seseorang dari suatu perasaan lebih buruk. contohnya suatu liburan atau pawai.


Divisi Publikasi Dan Humas
-ISKANDAR CENTRE-

Paradigma Hukum Progresif

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

"Biarkan Hukum Mengalir"

Demikianlah kata-kata yang terucap dari Prof Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum di Indonesia yang mengeluarkan ide hukum progresif. Pada dasarnya hukum progresif merupakan sebuah renungan panjang dari kegagalan hukum modern yang dalam hal ini didominasi oleh pandangan positivisme, dalam menjawab rasa keadilan masyarakat. Untuk memahami hukum progresif ada baiknya tentu kita lebih dulu menyelami apa yang dimaksud dari hukum positif.

HUKUM POSITIF

Dalam memahami sebuah teori hukum yang terlahir, analisis tentu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budaya (culture) dan sejarah (History) teori hukum itu terlahir. Hal ini tentu sangat relevan jika kita ingin mengetahui dasar filosofis Hukum positivis (legal positivism). Hukum positivis muncul sekitar abad ke 19 di kawasan Eropa. Tokohnya saat itu yang terkenal adalah Hans Kelsen (1881-1973), Hans Nawiasky, Adolf Merkl, Christopher Langdell dan John Austin. Hukum positivis tidak terlepas dari pemikiran empirisme yang saat itu berkembang di daratan Eropa. Empirime sendiri muncul dalam filsafat-filsafat Eropa tidak terlepas dari sturktur dan kultur Eropa saat itu. Dalam stuktur daratan Eropa saat itu, Raja memiliki kekuasaan yang absolut. Segala perkataan yang dikeluarkan oleh Raja adalah perkataan Tuhan di muka bumi. Raja adalah titisan tuhan di muka bumi, sehingga muncul semboyan 'The King Can do No Wrong'. Kekuasaan Raja yang begitu absolut melahirkan sebuah penyalagunahan wewenang dalam berbagai kegiatan , karena 'Power Tends Corrupt' menurut Lord Acton. Keabsolutan Raja dan Tindakan Sewenang-wenang yang kelak memunculkan Revolusi Perancis 1789.

Kedua Revolusi di daratan Eropa, yaitu Revolusi Perancis dan Revolusi Industri mempengaruhi munculnya pola positivisme dalam hukum. Hukum dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang otonom. Hukum terlepas dari moral dan hal-hal lain di luar hukum. Hukum harus dibakukan dalam subuah Undang-Undang yang dapat membatasi seorang pemimpin. Sehingga hakim hanyalah sebagai corong Undang-Undang dalam perkataan Montesqiue. Ilmu pengetahuan pasti yang saat itu mendorong lahirnya Revolusi Industri telah memukau banyak orang. Agar dapat menjadi suatu Ilmu Pengetahuan Modern, hukum harus memiliki sebuah kepastian. Karena dalam pandangan positivisme sesuatu yang dimulai dengan kepastian akan menghasilkan kepastian pula seperti hal nya mesin Industri. Hukum ditafsirkan secara atomazing, literal dan positifisme.

Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan

PARADIGMA HUKUM PROGRESIF

Kegagalan Hukum positif dalam menjawab rasa keadilan masyarakat memunculkan sebuah pendapat-pendapat atau aliran-aliran dalam mereformasi hukum. Muncul berbagai aliran hukum baru seperti legal Realism, Critical legal Studies, Responsif of Law dan Hukum Progresif. Ada kesamaan mendasar dalam aliran-aliran hukum post-modern tersebut dalam mengkritisi hukum positif, yaitu hukum bukan merupakan sesuatu yang telah selesai sehingga penghambaan terhadap undang-undang ditolak secara tegas.

Dalam hukum progresif, hukum adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum harus peka terhadap sesuatu yang terjadi di masyarakat. Hukum harus mempunyai nurani hukum dalam menciptakan keadilan masyarakat. Hukum progresif memandang hukum sebagai kajian sosial yang berhubungan dengan politik,ekonomi,budaya dan sosiologi. Hukum bukan sesuatu yang tertutup terhadap dunia luar (open logical system). Hukum progresif menurut Prof Satjipto Rahardjo lebih dekat dengan Sociological Jurisprudence.

Sociological Jurisprudence digawangi oleh tokohnya Roscoe Pound; ia mulai merintis aliran ini sekitar awal abad 20 di Universitas Harvard. Pound berpendapat bahwa law is a tool of social engineering. Hukum adalah suatu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus, yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan dan didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif.

Jadi hukum harus melihat dinamika yang mewarnai masyarakat dan bersifat fleksibel terhadap perubahan masyarakat sehingga adagium 'Hukum berjalan terpincang-pincang di belakang masyarakat' dapat di atasi. Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundangan-undangan harus dikontektualisasi dalam dinamika masyarakat agar dapat mencapai keadilan masyarakat. Peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan secara litelar dan dogmatis atas dasar kepastian hukum. Sebagai contoh dalam kasus perjudian anak-anak di tanggeran yang baru-baru ini terjadi. Secara positivisme pasal-pasa,l maka anak-anak di Tanggerang itu bersalah dalam melakukan perjudian. Tetapi jika kaitkan hal ini dengan kajian sosiologis,ekonomi dan budaya maka anak-anak di Tanggerang tidak dapat dinyatakan bersalah. Anak-anak di Tanggerang adalah korban konstruksi sosial yang membuat mereka terpaksa bekerja di masa kanak-kanak nya dan tidak mengerti pasal-pasal perjudian yang dituduhkan kepada mereka. Kurangnya pendidikan mempengaruhi anak-anak tersebut dalam melakukan tindakan tersebut. Sehingga secara garis besar dalam memutus sebuah kasus, parat penegak hukum tidak hanya melihat kepastian hukum semata. Nilai keadilan dan kemanfaatan harus diperjuangkan dalam memutus sebuah kasus.

kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.

Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya. Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.

Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

Hukum progresif juga terjadi diberbagai belahan dunia seperti di AS oleh tokoh nya Oliver Holmes. Holmes adalah hakim agung Amerika Serikat yang amat terkenal sebagai pelopor American Legal Realism. Kata-katanya yang terkenal adalah "the life of law is not been logic, but its has been an experience"; dan juga "studying the law simply as a great anthropological document". Bagi Holmes, hukum adalah perilaku aktual dari para hakim dalam memutus perkara di pengadilan, yang mencakup kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim, moral pribadi hakim serta kepentingan sosial. Holmes berpendapat hukum bukan kredo logical undang-undang semata, melainkan pengalaman.

Selain itu John Marshall seorang Hakim Agung dalam Supreme Of Court pernah menggemparkan dunia lewat pendapatnya bahwa"Mahkamah memiliki kekuasaan untuk menyatakan undang-undang (act of Congress) sebagai tidak konstitusional". Hal itu menegaskan kekuatan progresif dalam dunia hukum AS karena sebelumnya Suprme Of Court dianggap kekuatan yang rendah di bawah eksekutif dan legislatif.

Di daratan Eropa yang notabene kiblat positivisme, dalam hal ini negeri kincir angin Belanda pernah menjungkirbalikan sebuah pandangan kaca mata kuda positivisme pada bulan Januari 1919. Revolusi Januari tersebut dilakukan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) dalam penafsiran perbuatan melawan hukum. Perbuatan Melawan Hukum yang tadinya ditafsirkan hanya merupakan perbuatan yang melanggar peraturan telah meresahkan masyarakat, karena pebuatan yang jelas-jelas melanggar kepatutan masyarakat tidak dapat dijangkau oleh pasal-pasal peraturan.Selama pemahaman yang demikian itu yang dianut, masyarakat merasa dijahati oleh hukum karena hukum tidak melihat betapa jahatnya perbuatan yang bertentangan dengan kepatuhan dalam masyarakat, sekalipun tidak ada undang-undang yang dilanggar. Akibatnya Hoge Raad melebarkan tafsir perbuatan melawan hukum yang tidak hanya perbuatan melawan peraturan-peraturan yang berlaku, tetapi termasuk juga perbuatan melawan kepatutan masyarakat.

Akhir kata Biarkan Hukum Mengalir. Suatu ajakan yang beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking). Seperti air biarkan hukum mengalir "arus air yang menabrak batu, tidak berusaha untuk menghancurkan batu tersebut, melainkan mencari jalan sedemikian rupa, sehingga ia tetap dapat mengalir mencapai tujuannya. Maka apakah tidak sebaiknya hukum itu juga kita biarkan mengalir begitu saja dan mencari jalannya sendiri untuk mencapai tujuannya, yaitu melayani dan berguna untuk manusia".


-Aditya Nugraha Iskandar-
Koordinator Kadispel Iskandar Centre

Selamatkan Indonesia

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar




KORUPSI

Sebuah perbuatan
Bergincu keserakahan
Di sampul rapih
Oleh kemunafikan

Ia terserak dimana-mana
Seperti benalu
Dan tak kenal malu

Ia senang merampas hak-hak rakyat
Merobohkan tatanan etika
Serta menistakan kalimat tuhan

Korupsi
Bau busuknya mengudara di pelosok negeri
Di balik keputusan Hakim yang terbeli
Di dalam kantong para Wakil rakyat
Serta di proyek-proyek para Menteri

Korupsi
Dampaknya begitu menakutkan
Ia sedahsyat bencana bah Kaum Nuh
Ia sekejam tajamnya pedang Hulagu Khan yg menerjang Baghdad
Atau seperti kenistaan bom Hirosima

Korupsi
Bau busuknya mengudara di pelosok Negeri
Menarinari di atas tangisan anak Negeri

*puisi karya Aditya Nugraha Iskandar- Jakarta 8 Desember 2009-



Sejarah korupsi hadir seiring dengan awal kehidupan manusia bermasyarakat, yaitu pada tahap organisasi masyarakat yang rumit mulai muncul. Korupsi adalah transaksi amoral yang di kutuk oleh Hammurabi dari Babilonia. Korupsi dalam kamus bahasa berarti adalah busuk, tercela, penyuapan, terkutuk dan segala arti yang memiliki konotasi negatif lainnya.

Kerugian yang diciptakan korupsi lebih besar dan bersifat sistemik di dalam sistem sosial masyarakat. Ia merusak kepercayaan public (public trust) dan nilai moralitas yang ada di masyarakat. Ia menghambat demokrasi dalam sebuah pemerintahan. Korupsi membuat anggaran sebuah Negara menjadi tidak effisien, sehingga berdampak juga terhadap hak-hak rakyat yaitu akses pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Korupsi juga dapat menciptakan kehancuran sosial di dalam masyarakat karena sifatnya yang nihilisme, materialisme dan immoral.

Begitu besarnya kerugian yang diakibatkan oleh korupsi membuat semua manusia di dunia memeranginya. Dalam konferensi-konferensi internasional korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang harus ditanggulangi dengan cara-cara luar biasa pula. Dunia internasional berikhtiar untuk bekerja sama memberantas korupsi.

Kejahatan korupsi ternyata juga menyebar akut di Indonesia. Ia ditengarai telah hadir sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai saat ini. Dampaknya di Indonesia juga luar biasa keji nya. Di masa penjajahan kolonial, korupsi membuat rakyat sengsara dan terjajah karena ulah busuk sebagian anak bangsa yang berhianat demi mendapatkan materi. Di rezim depostisme Orba korupsi menyeret bangsa ini pada krisis dan hutang luar negeri yang menggunung.

Di mata dunia Indonesia masih termasuk dalam 10 besar Negara terkorup di dunia. Pihak yang paling dirugikan oleh korupsi adalah rakyat kecil. Uang Negara yang seharusnya memberikan kesejahteraan justru di rampok oleh segelintir elite pemangku jabatan. Ketika wakil rakyat menerima suap untuk memberikan izin pada penebangan hutan, maka rakyat yang akan tertimpa bencana longsor. Ketika pejabat mencatut uang beras, di sudut Yahukimo rakyat tergeletak mati akibat kelaparan.

Bau busuk korupsi ada dimana-mana. Ia menembus dinding tebal penegak hukum. Ia berkelindan di gedung wakil rakyat. Kemarin mungkin masih teringat segar dalam pikiran kita, dimana korupsi mampu memporak-porandakan para penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian. Hukum bisa dibeli oleh para koruptor. Kasih Uang Habis Perkara (KUHP). Keadilan menjadi barang mewah akibat transaksi amoral korupsi. Mbah Minah menjerit akibat tiga kakaonya, sementara koruptor masih bisa menari-nari. Untuk itu di hari Anti-korupsi se dunia MARI KITA BERSATU MEMERANGI KORUPSI dan SELAMATKAN INDONESIA!!

Selain itu kami menuntut :

1.Tangkap dan adili Anggodo, Anggoro serta para koruptor lainnya
2.Menolak RPP pengaturan kewenangan penyadapan KPK
3.Usut tuntas kasus century tanpa pandang bulu dan mendesak KPK mengambil alih masalah century
4.Segera reformasi para penegak hukum ( kejaksaan,kepolisian,pengadilan dan advokat )



Salam Juang
Aditya Nugraha Iskandar
Kordinator Divisi Kadispel Iskandar Centre