Indonesia's Law Enforcer Should Pay More Respect to Children's Rights

Posted Posted by christine.tambunan in , , , Comments 0 komentar

July 23 is known as the National Children Day in Indonesia. This occasion was set up with the purpose of respecting children rights in Indonesia. It is the day for Indonesia to fully understand that respecting, fulfilling, and protecting children rights is a crucial ingredient for children to better grow; without which, Indonesia’s future generation is likely blighted. Sadly, in this month, many Indonesians were shocked by one infamous children case: the ten shoe-shiners case.

There are ten boys who daily work as shoe-shiners at the International Airport in Jakarta, are now facing long and exhausted court hearing. It was all started on May 29 when they were arrested by the Soekarno-Hatta International Airport Resort Police for allegedly gambling in the airport area. The youngest is at 11 years old and the oldest one is 15 years old. They all come from impoverished families live nearby the airport and work daily as shoe-shiners to earn a living.

Unfortunately, on that day, there was a security operation that forced them to hide in the bus park. While were waiting the operation to be over, they spent their time by spinning one coin of IDR 500. They spin the coin, and then close it, and the rest should guess which side would appear. To make the game more thrilling, they placed a bet around IDR 1.000 (approx. 10 US cent) each child.

They were investigated without legal assistance and then were transferred to Children’s Prison in Tangerang. The police detained them for a month before finally released them on June 26 2009, due to considerable public pressure. Miserably, however, the police continued the case by conveying the case to Tangerang District Prosecutor and now are facing trial.

Apart from having traumatic experience, these children, as a consequence of one month detention, had to miss their national exam and resulted in failed to go to the next grade. They also couldn’t meet their parents easily during the investigation because of their parents are poor, so it was hard for them to get into the police station as it was far from their home and needed extra money.

According to the Indonesian law, juvenile cases should be tried before the Juvenile Court. The law itself calls for special consideration and treatment when dealing with crimes involving underage children. Under the law, juvenile cases should place the best interest of the children at the utmost priority. For juvenile delinquent facing criminal sanctions and the legal system for the first time, the police play a significant role in the initial stages. Police officers essentially determine whether the juvenile should be released without charge or face the next stage of prosecution. If the arrest is deemed necessary, the public prosecutor then decide once more whether the offender should be released, or face the juvenile court.

In this case, one month detention was of course disproportionate and redundant. The police should have known that these children were on their academic year and the national exam was coming. Detaining them was only bringing more harm than good. Shockingly, when their parents requested a bail, the police refused to release them and decided to extend the detention.

If one looks thoroughly into the case, one would see that this whole case reflects two main problems –apart from the legal-technical issues. Firstly, is the poverty that surrounds these children. Their parents’ income is only around IDR 5.000 (approx USD 0.5) per day, which to a certain extent forced these children to get extra earning for the family by being a shoe-shiner after school. Their decision to shoe-shine after school is neither theirs nor their parents to blame. Having come from underprivileged families, playing around after school would be deemed as a waste of time. Socially-environment pressure leaves them no option other than earning more money for families’ need. This poignant landscape is common in poor families as the parents encourage their children to work. And of course, they can not work in a formal sector because some of them are illiterate. Thus, shoe-shining in the airport which is close to their house is preferable.

Secondly, is the good image that the police want to create if they can send more people to the prison. It suggests to public and the superior that they have succeeded in ensuring justice is done. By sending these ten ‘gambler’, the local police give an impression that they have managed to investigate criminal acts and successfully participate in creating a clean and comfortable airport so it would be nice to look at. But then again, did the police action to investigate and detain these children is a wise option? Creating a nice image of Indonesia’s main international airport, should not sacrifice children’s rights. Handling children case like this should be taken care with extra attention as they are vulnerable. They are still in a developing period. If they are stamped with a ‘suspect’, ‘defendant’ or ‘prisoner’ status, it will only bring negative effect and blacklisted them when they are adult.

Considering the conditions in Indonesia’s penitentiaries, detention is a particularly serious threat to a child’s interests. Children’s prisons, like adult facilities, are overcrowded and poorly equipped at best. Moreover, many children are forced to remain in adult prison while they await trial and a verdict. In adult prisons, children are vulnerable to many levels of abuse, including physical, sexual and mental abuse.

Indeed, there should be other institution better than prison to give service in consulting children’s criminal mental and thoughts. Ultimately, to ensure that children’s rights in relation to criminal issues are fulfilled, Indonesia should tackle its poverty problem as well as reform its penal and juvenile system.

you can see the original post in www.UPIasia.com

World Environmental Day

Posted Posted by christine.tambunan in , , Comments 0 komentar


Hari ini, 5 Juni 2009 adalah Hari Lingkungan Dunia. Mungkin belum banyak dari kita yang mengenal apa itu Hari Lingkungan Dunia atau sering disebut dengan World Environment Day (WED). Memang hal ini sangat jauh dari isu HAM, dari isu politik, penegakan hukum , dan segala tetek bengeknya. Namun hal ini adalah hal yang sangat penting mengingat pergerakan lingkungan juga merupakan bagian daripada Environmental Justice

World Environment Day pertama kali dibuat oleh Sidang Umum PBB tahun 1972 dalam rangka pembukaan Konferensi Stockholm (Stockholm Conference on the Human Environment.)

Diperingati setiap tanggal 5 Juni, World Environment Day adalah sarana penting yang digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran dunia akan lingkungannya dengan meningkatkan perhatian politik dan tindakan kongkrit atau aksi. Agenda dari peringatan ini adalah untuk:

  1. Memberikan gambaran kepada manusia mengenai isu lingkungan;
  2. Memberdayakan masyarakat menjadi pelaku aktif dalam pembangunan yang adil dan berkelanjutan;
  3. Mengkampanyekan kesepahaman bahwa keberadaan manusia adalah penting untuk mengubah perilaku terkait dengan isu lingkungan;
  4. Mengadvokasi kemitraan yang akan menjamin seluruh bangsa dan negara menikmati masa depan yang lebih makmur dan aman.

Tema WED tahun 2009 hari ini adalah Your Planet Needs You – Unite to Combat Climate Change (Planetmu membutuhkanmu – Bersatu Melawan Perubahan Iklim). Tema ini menggambarkan sangat mendesaknya kebutuhan akan bangsa-bangsa untuk mencapai kesepakatan baru dalam pertemuan penting konvensi iklim di Copenhagen yang akan diadakan 185 hari lagi, dan hubungannya dengan kemiskinan dan manajemen hutan yang lebih baik.

Tuan rumah Hari Lingkungan Dunia kali ini adalah Meksiko yang menggambarkan mengenai pertumbuhan peran negara Amerika Latin dalam memerangi perubahan iklim, termasuk perannya yang semakin meningkat dalam perdagangan karbon.

Mexico juga adalah partner terdepan dalam Kampanye 1 Milyar Pohon UNEP. Negara ini, dengan dukungan presiden dan rakyatnya, mempelopori janji dan penanaman 25 persen pohon dari jumlah yang dikampanyekan. Dilaporkan atas 1.5 persen berkontribusi dalam pemancaran gas rumah kaca global, negara ini menunjukkan komitmennya terhadap perubahan iklim.

Presiden Mexico Felipe Calderon menyampaikan bahwa Hari Lingkungan Dunia akan menunjukkan kebulatan tekad Mexico untuk mengatur sumber daya alamnya dan menghadapi tantangan paling besar abad 21 yaitu Perubahan Iklim.

Memang sudah saatnya kita peduli akan apa yang terjadi dengan lingkungan kita. Maka dari itu, saya mengajak teman-teman pada hari ini untuk:

  1. Tidak membuang sampah sembarangan
  2. Membagi tempat sampah menurut jenis sampahnya.
  3. Tidak menggunakan kendaraan pribadi
  4. Mematikan laptop apabila tidak dipakai
  5. Mematikan lampu pada sianghari
  6. Menanam satu pohon di halaman rumah
  7. Menyebarkan tulisan ini kepada teman-teman

Dan hal-hal juga tindakan lain yang dapat menyelamatkan bumi kita dari kehancuran.

Regards,

Christine Tambunan

Pentingnya Perlindungan Hak-Hak Terhadap Saksi Dan Korban Kejahatan

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Korban kejahatan selalu identik dengan pihak yang dirugikan. Tidak ada seseorang di muka bumi yang bersedia menjadi korban kejahatan, karena apapun alasannya korban berada di pihak yang dirugikan. Oleh karena begitu pentingnya peran korban kejahatan dalam mengungkap suatu kasus dan begitu besarnya kerugian yang diterima korban, masyarakat internasional saat ini mulai memperhatikan status dan posisi korban kejahatan. Akan tetapi sayangnya masyarakat Indonesia yang berpedoman Pancasila kurang menyingkapi masalah ini secara serius. Seyogyanya, perangkat hukum yang responsif terhadap kejahatan dan pelanggaran HAM sudah tentu akan mengadopsi elemen restitutive justice maupun corrective justice, dengan adanya keseimbangan antara hak-hak terdakwa dengan saksi dan korban serta pemberian perlindungan dan bantuan pada korban dan saksi. Namun dalam hukum positif di Indonesia yaitu KUHAP menunjukan tendensi suspect-heavy daripada menyeimbangkan hak dan kewajiban untuk saksi, korban dan terdakwa. Hal ini terlihat dari begitu beratnya kewajiban saksi daripada hak-hak perlindungan yang seharusnya diperoleh.

Hukum Nasional saat ini (KUHAP) terlalu berorientasi terhadap pelaku kejahatan, dimana tersangka dijamin hak-hak nya mulai dari penangkapan sampai eksekusi putusan pengadilan. Hal tersebut disebabkan kondisi masyarakat saat KUHAP lahir di Eropa rentan terhadap pelanggaran hak-hak tersangka ataupun terdakwa. Namun kondisi masyarakat saat ini telah berubah. Masyarakat memerlukan penjaminan hak-hak terhadap korban kejahatan dan saksi, baik berupa bantuan hukum dalam proses perkara maupun bantuan psiko-sosial, karena tidak sedikit korban kejahatan yang mengalami guncangan sosial dan kejiwaan. Bahwa perlindungan terhadap korban mencakup special treatment yang melingkupi perlindungan fisik dan psikologis sebagai saksi.

Di dalam KUHAP diatur kepentingan korban diwakili oleh pemerintah, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum. Namun sayang nya JPU tidak diwajibkan untuk membela dan melindungi korban. Hal ini sangat tragis karena jangan sampai korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah menjalani sistem peradilan pidana. Hal ini perlu dicermati bersama, karena kebanyakan korban dan saksi merupakan orang yang awam hukum.

Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban / pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat menjelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi objek pemeriksaan di muka pengadilan. Saksi, bersama alat bukti lain akan membantu Hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan objektif berdasarkan fakta-fakta hukum yang dibeberkan.

Dalam sebuah proses peradilan pidana, saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materil. Teorinya, pasal 184-185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) / UU No. 8 Tahun 1981 secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pasal 185 (2) menyatakan, "keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya." Ayat 3 dari pasal yang sama berbunyi, "ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya." Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari 1 (satu) orang saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah / tidak. Pada saat memberikan keterangan, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka pengadilan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun keterangannya itu memberatkan terdakwa. Maka pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasanya jelas, yaitu : mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir, ataupun tertekan.

Tetapi saksi juga harus dibebaskan dari perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau, kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang dapay menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma hebat akibat peristiwa pidana, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa ke muka pengadilan atau pun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang seringkali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut.

Melihat begitu pentingnya peran saksi dan juga saksi korban, maka sudah seharusnya mereka mendapatkan perlindungan yang intensif.

Salam
Kordinator Kadispel ISKANDAR CENTRE
-Aditya Nugraha Iskandar-

Mencari Sosok Pemimpin Ideal Dalam Kursi Kekuasaan

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 1 komentar

Oleh : Aditya Nugraha Iskandar


Akhir-akhir ini kita melihat ramai nya pertarungan para kandidat capres dan cawapres dalam memperebutkan posisi no 1 di Indonesia. Masing-masing calon berkampanye menonjolkan kelebihan-kelebihan mereka sebagai sosok pemimpin ideal dalam memperebutkan simpati masyarakat. Pertanyaan yang mungkin muncul ke permukaan adalah Apakah mereka calon-calon yang ideal?.

Dalam negara demokrasi, pengembangan civil society merupakan faktor penting dan utama untuk mewujudkan tujuan demokrasi. Dalam konteks civil society diharapkan munculnya kemandirian masyarakat menentukan nasibnya sendiri, serta kesadaran tinggi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah termasuk dalam memilih sosok pemimpin yang ideal. Masyarakat diharapkan memiliki kemandirian dan kesadaran tinggi dalam menentukan pemimpin yang ideal untuk menahkodai kapal bangsa ke arah yang lebih baik. Jangan sampai masyarakat hanya menjadi patronclient dalam era demokrasi.


Banyak faktor yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai sosok pemimpin yang ideal. Bahkan di zaman yunani kuno, Plato dalam bukunya 'Republic' menganggap sosok pemimpin yang ideal adalah seorang Filsof atau raja yang memiliki jiwa dan nilai-nilai seorang Filsof. Kemudian Tread, ordway, 1935 mempunyai karakter-karakter yang harus dipunyai seorang pemimpin, yaitu:

1. Physical and nerve energy (kuat jiwa dan raganya)

2. A sense of purpose dan direction (mempunyai indera menentukan arah dan tujuan)

3. Enthusiasm (antusias, bersemangat)

4. Friendliness and affection (akrab berteman dan punya kasih sayang)

5. Integrity (integritas pribadi)

6. Technical mastery (kemampuan dan keterampilan teknik kepemimpinan)

7. Decisiveness (cepat dan tepat dalam mengambil keputusan)

8. Intelligence (cerdas)

9. Teaching skill (kemampuan mengajar)

10. Faith (dapat dipercaya)


Selain faktor-faktor tersebut di atas masih ada faktor-faktor lain seperti, jujur, adil, konsisten, santun, bebas korupsi, dll, untuk menentukan sosok pemimpin ideal. Berbagai macam tolak ukur tersebut tentu harus disesuaikan oleh konteks kebutuhan bangsa Indonesia saat ini dan kebutuhan dalam mencapai tujuan negara dalam UUD 1945, yaitu :

1. Memajukan kesejahteraan umum

2. Mencerdaskan kehidupan bangsa
3. Mewujudkan keadilan sosial

4. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

5. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.


Untuk itu ada beberapa faktor yang menurut saya penting dalam mencari sosok pemimpin ideal. Pertama, memiliki keberpihakan yang progresif. Seorang pemimpin yang dibutuhkan bangsa saat ini adalah seorang pemimpin yang lebih berpihak terhadap rakyat kecil / kaum papa / kaum mustad'afin yang selama ini termarginalkan. Lebih berpihak kepada buruh daripada pemilik modal, berpihak kepada petani daripada kaum feodal, berpihak kepada kaum miskin kota daripada kaum borjusi kota. Hal ini tidak bermaksud mendikotomikan masyarakat atau membenturkan klas yang ada di masyarakat. Tetapi secara nyata mereka adalah kaum yang perlu diperhatikan lebih, setelah 63 tahun kita merdeka masih terabaikan. Menilai seorang yang memiliki keberpihakan progresif dapat kita lihat dari track record atau visi-misi para calon dalam membuat kebijakan (decession making). Apakah mereka cenderung lebih mengutamakan perumahan untuk kalangan miskin daripada membangun apartemen mewah? Apakah mereka lebih mendukung ekonomi kerakyatan daripada ekonomi neo-liberal?.


Kedua,pemimpin yang memiliki integritas tinggi dan jiwa nasionalis yang tinggi. Faktor ini dapat diderivasi melalui beberapa perilaku dan tindakan seorang calon selama ini. Melihat masih rendahnya kualitas dan kesadaran SDM di Indonesia, serta begitu besarnya sumber daya (recources) yang kita miliki, tentu Indonesia adalah sasaran empuk kepentingan pihak asing untuk dieksploitasi.Hal ini terlihat jelas dengan begitu besarnya pengaruh asing dalam menentukan kebijakan Indonesia seperti privatisasi dan liberalisasi yang tidak cocok dengan sifat sosial masyarakat kita terhadap aset-aset strategis bangsa. Untuk itu diperlukan pemimpin yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dalam menerapkan kebijakan dan berani melakukan renegosiasi ulang kontrak atas sumber daya kita yang dikuasai asing, serta menasionalisasikan kembali aset-aset bangsa secara bertahap, agar keuntungan yang didapatkan berguna untuk memenuhi public goods daripada private goods.


Ketiga, pemimpin yang mempunyai jiwa merakyat. Seorang pemimpin seharusnya menghilangkan garis demakarsi antara dirinya dan rakyatnya. Jangan sampai ada pameo yang terbangun di masyarakat sebagai 'Pemimpin kaya yang memimpin negri busung lapar'. Faktor ini dapat dilihat dari seberapa besar jumlah harta kekayaan pribadi pemimpin untuk dikorbankan dalam mensejahterakan rakyat. Jangan sampai terjadi buritan Paradoksal, dimana seorang pemimpin bertambah jumlah harta kekayaannya setelah menjabat namun angka kemiskinan dan pengangguran tidak menurun.


keempat, pemimpin yang mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan golongan. Hal ini dimaksudkan agar seorang pemimpin tidak tersandera oleh kepentingan golongan atau partai politik di dalam mengambil kebijakan. Sebagai contoh adalah dalam menentukan kabinetnya seorang Presiden lebih mengutamakan kemampuan profesional dan integritas pribadi daripada 'titipan politik'.Memang mencari sosok pemimpin yang ideal untuk bangsa kita tidak lah mudah. Pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Tapi ikhtiar kita untuk mencari yang mendekati sempurna dengan menjadi masyarakat yang aktif dalam menilai merupakan perwujudan demokrasi yang telah matang. Untuk itu mari kita mulai menilai faktor-faktor yang dapat dimiliki seorang pemimpin ideal dan mengamati janji-janji yang mereka ucapkan saat berkampanye. Lakukan civil disobidience sebagai perwujudan people power jika mereka melanggar janji setelah terpilih. Marilah menjadi masyarakat madani (civil society ).