World Environmental Day

Posted Posted by christine.tambunan in , , Comments 0 komentar


Hari ini, 5 Juni 2009 adalah Hari Lingkungan Dunia. Mungkin belum banyak dari kita yang mengenal apa itu Hari Lingkungan Dunia atau sering disebut dengan World Environment Day (WED). Memang hal ini sangat jauh dari isu HAM, dari isu politik, penegakan hukum , dan segala tetek bengeknya. Namun hal ini adalah hal yang sangat penting mengingat pergerakan lingkungan juga merupakan bagian daripada Environmental Justice

World Environment Day pertama kali dibuat oleh Sidang Umum PBB tahun 1972 dalam rangka pembukaan Konferensi Stockholm (Stockholm Conference on the Human Environment.)

Diperingati setiap tanggal 5 Juni, World Environment Day adalah sarana penting yang digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran dunia akan lingkungannya dengan meningkatkan perhatian politik dan tindakan kongkrit atau aksi. Agenda dari peringatan ini adalah untuk:

  1. Memberikan gambaran kepada manusia mengenai isu lingkungan;
  2. Memberdayakan masyarakat menjadi pelaku aktif dalam pembangunan yang adil dan berkelanjutan;
  3. Mengkampanyekan kesepahaman bahwa keberadaan manusia adalah penting untuk mengubah perilaku terkait dengan isu lingkungan;
  4. Mengadvokasi kemitraan yang akan menjamin seluruh bangsa dan negara menikmati masa depan yang lebih makmur dan aman.

Tema WED tahun 2009 hari ini adalah Your Planet Needs You – Unite to Combat Climate Change (Planetmu membutuhkanmu – Bersatu Melawan Perubahan Iklim). Tema ini menggambarkan sangat mendesaknya kebutuhan akan bangsa-bangsa untuk mencapai kesepakatan baru dalam pertemuan penting konvensi iklim di Copenhagen yang akan diadakan 185 hari lagi, dan hubungannya dengan kemiskinan dan manajemen hutan yang lebih baik.

Tuan rumah Hari Lingkungan Dunia kali ini adalah Meksiko yang menggambarkan mengenai pertumbuhan peran negara Amerika Latin dalam memerangi perubahan iklim, termasuk perannya yang semakin meningkat dalam perdagangan karbon.

Mexico juga adalah partner terdepan dalam Kampanye 1 Milyar Pohon UNEP. Negara ini, dengan dukungan presiden dan rakyatnya, mempelopori janji dan penanaman 25 persen pohon dari jumlah yang dikampanyekan. Dilaporkan atas 1.5 persen berkontribusi dalam pemancaran gas rumah kaca global, negara ini menunjukkan komitmennya terhadap perubahan iklim.

Presiden Mexico Felipe Calderon menyampaikan bahwa Hari Lingkungan Dunia akan menunjukkan kebulatan tekad Mexico untuk mengatur sumber daya alamnya dan menghadapi tantangan paling besar abad 21 yaitu Perubahan Iklim.

Memang sudah saatnya kita peduli akan apa yang terjadi dengan lingkungan kita. Maka dari itu, saya mengajak teman-teman pada hari ini untuk:

  1. Tidak membuang sampah sembarangan
  2. Membagi tempat sampah menurut jenis sampahnya.
  3. Tidak menggunakan kendaraan pribadi
  4. Mematikan laptop apabila tidak dipakai
  5. Mematikan lampu pada sianghari
  6. Menanam satu pohon di halaman rumah
  7. Menyebarkan tulisan ini kepada teman-teman

Dan hal-hal juga tindakan lain yang dapat menyelamatkan bumi kita dari kehancuran.

Regards,

Christine Tambunan

Pentingnya Perlindungan Hak-Hak Terhadap Saksi Dan Korban Kejahatan

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Korban kejahatan selalu identik dengan pihak yang dirugikan. Tidak ada seseorang di muka bumi yang bersedia menjadi korban kejahatan, karena apapun alasannya korban berada di pihak yang dirugikan. Oleh karena begitu pentingnya peran korban kejahatan dalam mengungkap suatu kasus dan begitu besarnya kerugian yang diterima korban, masyarakat internasional saat ini mulai memperhatikan status dan posisi korban kejahatan. Akan tetapi sayangnya masyarakat Indonesia yang berpedoman Pancasila kurang menyingkapi masalah ini secara serius. Seyogyanya, perangkat hukum yang responsif terhadap kejahatan dan pelanggaran HAM sudah tentu akan mengadopsi elemen restitutive justice maupun corrective justice, dengan adanya keseimbangan antara hak-hak terdakwa dengan saksi dan korban serta pemberian perlindungan dan bantuan pada korban dan saksi. Namun dalam hukum positif di Indonesia yaitu KUHAP menunjukan tendensi suspect-heavy daripada menyeimbangkan hak dan kewajiban untuk saksi, korban dan terdakwa. Hal ini terlihat dari begitu beratnya kewajiban saksi daripada hak-hak perlindungan yang seharusnya diperoleh.

Hukum Nasional saat ini (KUHAP) terlalu berorientasi terhadap pelaku kejahatan, dimana tersangka dijamin hak-hak nya mulai dari penangkapan sampai eksekusi putusan pengadilan. Hal tersebut disebabkan kondisi masyarakat saat KUHAP lahir di Eropa rentan terhadap pelanggaran hak-hak tersangka ataupun terdakwa. Namun kondisi masyarakat saat ini telah berubah. Masyarakat memerlukan penjaminan hak-hak terhadap korban kejahatan dan saksi, baik berupa bantuan hukum dalam proses perkara maupun bantuan psiko-sosial, karena tidak sedikit korban kejahatan yang mengalami guncangan sosial dan kejiwaan. Bahwa perlindungan terhadap korban mencakup special treatment yang melingkupi perlindungan fisik dan psikologis sebagai saksi.

Di dalam KUHAP diatur kepentingan korban diwakili oleh pemerintah, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum. Namun sayang nya JPU tidak diwajibkan untuk membela dan melindungi korban. Hal ini sangat tragis karena jangan sampai korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah menjalani sistem peradilan pidana. Hal ini perlu dicermati bersama, karena kebanyakan korban dan saksi merupakan orang yang awam hukum.

Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban / pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat menjelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi objek pemeriksaan di muka pengadilan. Saksi, bersama alat bukti lain akan membantu Hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan objektif berdasarkan fakta-fakta hukum yang dibeberkan.

Dalam sebuah proses peradilan pidana, saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materil. Teorinya, pasal 184-185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) / UU No. 8 Tahun 1981 secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pasal 185 (2) menyatakan, "keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya." Ayat 3 dari pasal yang sama berbunyi, "ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya." Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari 1 (satu) orang saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah / tidak. Pada saat memberikan keterangan, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka pengadilan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun keterangannya itu memberatkan terdakwa. Maka pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasanya jelas, yaitu : mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir, ataupun tertekan.

Tetapi saksi juga harus dibebaskan dari perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau, kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang dapay menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma hebat akibat peristiwa pidana, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa ke muka pengadilan atau pun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang seringkali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut.

Melihat begitu pentingnya peran saksi dan juga saksi korban, maka sudah seharusnya mereka mendapatkan perlindungan yang intensif.

Salam
Kordinator Kadispel ISKANDAR CENTRE
-Aditya Nugraha Iskandar-