Pentingnya Perlindungan Hak-Hak Terhadap Saksi Dan Korban Kejahatan

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Korban kejahatan selalu identik dengan pihak yang dirugikan. Tidak ada seseorang di muka bumi yang bersedia menjadi korban kejahatan, karena apapun alasannya korban berada di pihak yang dirugikan. Oleh karena begitu pentingnya peran korban kejahatan dalam mengungkap suatu kasus dan begitu besarnya kerugian yang diterima korban, masyarakat internasional saat ini mulai memperhatikan status dan posisi korban kejahatan. Akan tetapi sayangnya masyarakat Indonesia yang berpedoman Pancasila kurang menyingkapi masalah ini secara serius. Seyogyanya, perangkat hukum yang responsif terhadap kejahatan dan pelanggaran HAM sudah tentu akan mengadopsi elemen restitutive justice maupun corrective justice, dengan adanya keseimbangan antara hak-hak terdakwa dengan saksi dan korban serta pemberian perlindungan dan bantuan pada korban dan saksi. Namun dalam hukum positif di Indonesia yaitu KUHAP menunjukan tendensi suspect-heavy daripada menyeimbangkan hak dan kewajiban untuk saksi, korban dan terdakwa. Hal ini terlihat dari begitu beratnya kewajiban saksi daripada hak-hak perlindungan yang seharusnya diperoleh.

Hukum Nasional saat ini (KUHAP) terlalu berorientasi terhadap pelaku kejahatan, dimana tersangka dijamin hak-hak nya mulai dari penangkapan sampai eksekusi putusan pengadilan. Hal tersebut disebabkan kondisi masyarakat saat KUHAP lahir di Eropa rentan terhadap pelanggaran hak-hak tersangka ataupun terdakwa. Namun kondisi masyarakat saat ini telah berubah. Masyarakat memerlukan penjaminan hak-hak terhadap korban kejahatan dan saksi, baik berupa bantuan hukum dalam proses perkara maupun bantuan psiko-sosial, karena tidak sedikit korban kejahatan yang mengalami guncangan sosial dan kejiwaan. Bahwa perlindungan terhadap korban mencakup special treatment yang melingkupi perlindungan fisik dan psikologis sebagai saksi.

Di dalam KUHAP diatur kepentingan korban diwakili oleh pemerintah, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum. Namun sayang nya JPU tidak diwajibkan untuk membela dan melindungi korban. Hal ini sangat tragis karena jangan sampai korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah menjalani sistem peradilan pidana. Hal ini perlu dicermati bersama, karena kebanyakan korban dan saksi merupakan orang yang awam hukum.

Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban / pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat menjelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi objek pemeriksaan di muka pengadilan. Saksi, bersama alat bukti lain akan membantu Hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan objektif berdasarkan fakta-fakta hukum yang dibeberkan.

Dalam sebuah proses peradilan pidana, saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materil. Teorinya, pasal 184-185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) / UU No. 8 Tahun 1981 secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pasal 185 (2) menyatakan, "keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya." Ayat 3 dari pasal yang sama berbunyi, "ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya." Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari 1 (satu) orang saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah / tidak. Pada saat memberikan keterangan, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka pengadilan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun keterangannya itu memberatkan terdakwa. Maka pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasanya jelas, yaitu : mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir, ataupun tertekan.

Tetapi saksi juga harus dibebaskan dari perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau, kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang dapay menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma hebat akibat peristiwa pidana, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa ke muka pengadilan atau pun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang seringkali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut.

Melihat begitu pentingnya peran saksi dan juga saksi korban, maka sudah seharusnya mereka mendapatkan perlindungan yang intensif.

Salam
Kordinator Kadispel ISKANDAR CENTRE
-Aditya Nugraha Iskandar-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar