Memberikan Bantuan Hukum Kepada Si Fakir ( Antara Jargon dan Realitasnya )

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar


Salah satu asas hukum acara pidana yang paling penting adalah bahwa setiap orang yang berpekara dalam persidangan wajib diberikan bantuan hukum. Hal ini demi menjamin hak-hak orang tersebut dalam melakukan pembelaan dipersidangan. Secara umum ketentuan bantuan hukum sudah cukup baik. Namun dalam hal pelaksanaan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu masih mengalami beberapa kendala.

Sebagai wujud kewajiban Negara dalam melindungi warga negaranya, maka sudah seharusnya Negara juga memiliki kewajiban terhadap warga negaranya yang tersangkut masalah dalam proses peradilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membela kepentingannya seorang diri. Negara Indonesia yang menganut paham sebagai Negara kesejahteraan, yaitu Negara menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya maka sudah seharusnya Negara wajib menjamin hak-hak orang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hukum nya. Kewajiban Negara untuk memberikan bantuan hukum khususnya kepada mereka yang tidak mampu merupakan bagian yang penting karena hal tersebut telah diamanatkan oleh konstitusional.

Konstitusi Indonesia yang dijadikan landasan kuat adalah pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Selanjutnya, pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 berbunyi:
“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”
Kemudian dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh advokat atau pembela umum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menegaskan "Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara". Pasal-pasal dalam konstitusi tersebut telah mengamanatkan secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwa negara bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin.

Hak-hak fakir miskin ini meliputi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), sipil, dan politik dari fakir miskin. Melihat pada ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (4) yang dihubungkan dengan Pasal 34 (1) UUD 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin untuk memperoleh pembelaan baik dari advokat maupun pembela umum melalui suatu program bantuan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi fakir miskin / orang yang tidak mampu, yang harus dijamin perolehannya oleh negara. Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis itu dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses memperoleh keadilan bagi semua orang. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali.

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Semua orang memiliki hak diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang.

Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Kalau seorang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum.

Menurut data dari BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Data statistik tersebut membuktikan kehadiran organisasi bantuan hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum bagi fakir miskin sangat penting. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial, antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum.

Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum memadai. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum. Ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat karena hal ini telah dijamin pula oleh Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut, perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai bantuan hukum, antara lain penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN dan penunjukan secara tegas lembaga-lembaga apa saja yang wajib memberikan bantuan hukum.

Selain itu organisasi bantuan hukum harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum. Perlu ditekankan gerakan bantuan hukum harus mengubah paradigmanya, dari konsep bantuan hukum yang menempatkan organisasi bantuan hukum berseberangan dengan pemerintah, menjadi menempatkan negara sebagai mitra organisasi bantuan hukum dalam rangka program pengentasan kemiskinan.

Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin harus diberikan secara masif dan mengajak negara cq pemerintah serta semua unsur masyarakat, untuk memperkenalkan dan mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin di kota-kota maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma.

Suatu organisasi bantuan hukum tidak boleh menolak memberikan bantuan hukum dalam suatu bidang hukum tertentu. Kalau tidak mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut, organisasi bantuan hukum tersebut dapat melimpahkan perkara atau bekerja sama dengan organisasi bantuan hukum lain. Dalam pembelaan hak fakir miskin, tidak boleh dibedakan apakah yang dilanggar itu hak kolektif atau hak individu dari fakir miskin.

Diharapkan konsep bantuan hukum responsif ini dapat memperluas jangkauan pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin dengan menjadikannya sebagai gerakan nasional agar fakir miskin mengetahui dan dapat menuntut hak-haknya. Dalam gerakan nasional bantuan hukum yang akan digerakan oleh Lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada, akan melaksanakan bantuan hukum mulai dari pemberitahuan kepada masyarakat yang tidak mampu terhadap hak-hak nya dihadapan hukum sampai pendampingan mereka yang berpekara dipersidangan.

Sudah saatnya pemberian bantuan hukum kepada fakir miskin yang diposisikan sebagai kaum yang lemah tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh semua lembaga-lembaga hukum dengan berbagai alasan, karena hal ini sudah sangat jelas dijamin oleh konstitusi Negara kita.

Oleh :
Aditya Nugraha Iskandar
-Koordinator Kadispel Iskandar Centre-