Koalisi visioner dan oposisi demokratik

Posted Posted by Iskandar centre in Comments 0 komentar

Fenomena skandal bail out bank century telah menguras energi bangsa pada akhir-akhir yang lalu, terutama energi politik. Secara mutlak skandal bank century akan menjadi sejarah dalam proses pendewasaan demokrasi di negara ini. Akhir-akhir ini kita juga dimaraki oleh berita dana aspirasi yang menjadi perdebatan di kalangan elite-elite politik. Program dana aspirasi untuk para wakil rakyat (anggota DPR) yang diusung oleh partai Golkar, ternyata menimbulkan pro dan kontra, bahkan di dalam tubuh koalisi atau Setgab (sekretariat gabungan). Peristiwa-peristiwa tersebut tentu sangat menarik untuk dikaji dalam kerangka negara demokrasi. Demokrasi sebagai sistem kenegaraan yang dipilih setelah reformasi 1998 kini memasuki tahap konsolidasi demokrasi, yaitu tahap dimana setiap elemen-elemen melakukan perannya dalam memperkuat demokrasi. Konsolidasi demokrasi, pada hakekatnya berusaha mematangkan demokrasi agar mencapai tujuannya yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (demokrasi substansial).

Demokrasi substansial amat sangat diperlukan, agar wajah demokrasi yang hadir dipermukaan tidak hanya berupa bentrokan antar kelompok, sirkulasi kekuasaan, aksentuansi kekuasaan dan karnaval pemilu. Ketika demokrasi hanya bersifat prosedural-artifisial, maka demokrasi akan dihakimi sebagai biang kerok semua kekacauan politik dan menjadi alasan pembenar kaum anti-demokrasi fundamental, untuk menciptakan rezim tangan besi kembali.

Proses politik skandal bank century telah selesai dalam mekanisme paripurna legislative. Mekanisme yang akhirnya dimenangkan oleh kelompok pendukung opsi C, yaitu opsi yang menganggap proses bailout century sebagai kebijakan yang salah dan terdapat tindak pidana. Proses politik skandal bank century juga meninggalkan sebuah dinamika politik, yaitu : berbeloknya fraksi-fraksi pendukung pemerintah (koalisi). Fraksi-fraksi tersebut adalah fraksi PKS, fraksi golkar, fraksi ppp, dan seorang anggota fraksi kebangkitan bangsa, Lily Wahid. Hal ini tentu menjadi perdebatan terhadap masa depan koalisi, apakah bertahan atau bercerai? Kubu penguasa yang diwakili oleh partai demokrat bereaksi atas pembelotan beberapa anggota koalisi. Politikus-politikus partai demokrat meminta SBY untuk meninjau ulang kue koalisi dalam eksekutif atau meminta dilakukan reshufle kabinet. Tekanan politikus partai demokrat tentu didasari oleh kekecewaan mereka terhadap komitmen koalisi dan keraguan mereka terhadap laju perahu koalisi ke depan. Para politikus partai demokrat meminta SBY untuk meninjau ulang kue koalisi dalam eksekutif atau meminta dilalukan reshufle kabinet. Keputusan SBY tentu amat dinantikan para penggiat demokrasi. Keputusan tersebut tentu akan berimplikasi terhadap citra partai demokrat. Apakah akan legowo terhadap adanya perbedaan atau menunjukan watak arogansinya sebagai partai pemenang pemilu?

Sedangkan dalam polemik dana aspirasi, publik disuguhkan oleh terjadinya perbedaan pendapat dalam tubuh koalisi. Perbedaan pendapat dalam bangunan demokrasi memang sesuatu yang lumrah. Akan tetapi, sebaiknya perbedaan dalam tubuh koalisi diselesaikan terlebih dahulu di dalam internal koalisi, bukan terlihat di luar permukaan. Perbedaan pendapat antara partai golkar dan beberapa partai koalisi memperlihatkan secara kasar belum terbangunnya kesamaan visi dan misi koalisi. Selain itu, hal tersebut juga memperlihatkan begitu besarnya daya tawar (bargaining power) partai golkar sehingga berani bertentangan dengan pendapat anggota koalisi yang lain. Melihat fenomena tersebut tentu publik disuguhkan sebuah kebesaran jiwa elite-elite politik dalam membentuk budaya demokratis yang kondusif. Juga menjadi pertanyaan kepada publik, bagaimana bangunan koalisi dan oposisi yang sesuai dengan budaya demokrasi yang baik?

Membangun Budaya Demokrasi

Dalam ruang demokrasi, budaya demokrasi (culture democratic) menjadi faktor penting dalam menjamin keberlangsungan demokrasi. Budaya yang merupakan kebiasaan berulang-ulang dan menghasilkan pola yang dihayati bersama, akan memperkuat bangunan demokrasi. Budaya demokrasi seperti menghargai perbedaan, komunikasi dua arah, menerima kekalahan, memiliki nilai-nilai dalam membangun masyarakat demokratis (building society democratic).

Demokrasi yang dijalankan tanpa pertumbuhan budaya demokrasi, hanya akan menimbulkan proses menuju anarkhi. Ekses seperti ini dapat kita jumpai pada saat proses pilkada dengan maraknya kerusuhan. Budaya demokrasi yang belum terbangun secara sempurna, menciptakan ruang bagi munculnya pragmatisme dan fanatisme dalam proses demokrasi. Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya demokrasi, menjadi tiang fondasi bagi kokohnya proses konsolidasi demokrasi.

Menimbulkan budaya demokrasi, tentu bukan seperti menunggu hujan turun dari langit. Perlu ada proses penyadaran politik secara aktif kepada masyarakat, baik itu oleh infrastruktur politik atau suprastruktur politik,

Transformasi kesadaran politik, akan memunculkan aktifitas riil setiap orang atau masyarakat secara implisit dalam pola tingkah laku masyarakat. Menurut Gramsci, perlu adanya reformasi moral dan intelektual dan transformasi sosial yang dilakukan oleh intelektual organik (organic intelektuals). Reformasi moral dan intelektual, akan menjadi kesepakatan kolektif dalam dinamika masyarakat. Nilai-nilai yang muncul akibat dari proses transformasi kesadaran politik, akan teraktualisasi dalam setiap perilaku individu secara berulang-ulang dan kontinuitas, maka aktualisasi individu diterima sebagai budaya demokrasi. Nilai-nilai budaya demokrasi yang termanifetasikan dalam bangunan otopraksis, akan menjadi simpul-simpul konsolidasi demokrasi serta kohesi persatuan dan kesatuan.

Koalisi Visioner dan oposisi demokratik

Kontestasi dalam proses demokrasi menimbulkan garis demakarsi antar kubu kontestan-kontestan proses demokrasi. Garis pemisah terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan, baik sifatnya pragmatis, yaitu perbedaan kepentingan atau secara lebih fundamental, yaitu perbedaan ideologi.

Sudah menjadi keniscayaan, bahwa demokrasi itu memunculkan perbedaan. Namun perbedaan itu harus dimaknai dan diproses secara bijaksana agar menimbulkan nilai positif. Perbedaan harus disandingkan dengan budaya kebersamaan dalam kerangka persatuan dan kesatuan. Warna-warni perbedaan harus menjadi keindahan bagi pelangi demokrasi.

Secara lebih khusus dan derivatif, kontestasi dalam proses demokrasi (pemilu) menimbulkan polarisasi antara kubu pemerintahan (koalisi) di satu sisi, dengan kubu diluar pemerintahan (oposisi). Dalam sistem presidensial yang disandingkan dengan pola multipartai seperti di Indonesia, kubu pemerintahan dapat dibangun dibawah kerangka koalisi. Sistem multipartai dalam proses pemilihan dapat menghasilkan pemenang yang bersifat lemah (weak winner). Pemenang seperti ini tentu membutuhkan partner dalam perahu koalisi, agar pemerintahan tahan terhadap dinamika proses politik yang tidak selalu linier. Pemerintahan koalisi disusun dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan dalam menjalankan program-program pemerintahan.

Membangun sebuah koalisi, tentu harus dilandasi atas dasar kesamaan visi misi / konsep dalam membuat kebijakan (making policy). Inilah yang dinamakan dengan koalisi visioner atau koalisi yang terbentuk dari pijakan kesamaan visi dan misi. Koalisi visioner terbentuk agar mengeleminir adanya koalisi pragmatis atau koalisi bagi-bagi kue dan koalisi buta (blind coalition). Kedua koalisi tersebut dapat merusak bangunan demokrasi. Koalisi pragmatis adalah koalisi yang terbentuk atas dasar bagi-bagi kepentingan. Koalisi ini tentu tidak memiliki visi-misi yang jelas, serta tidak menjamin stabilitas pemerintahan karena bersifat cair. Koalisi pragmatis juga menimbulkan berbagai transaksi-transaksi politik yang bersifat koruptif atau kesepakatan ruang hitam (black room deal).

Sedangkan, koalisi buta (blind coalition) adalah juga koalisi tanpa didasari visi misi yang jelas, hanya berdasarkan kedekatan anggota koalisi semata. Koalisi seperti ini membuat semua kebijakan pemerintahan sebagai sesuatu kebenaran mutlak tanpa didasari landasan visi misi terlebih dahulu. Proses dialektika terhadapa kebijakan pemerintah tidak terdapat dalam koalisi seperti ini.

Dalam negara demokrasi, keberhasilan sebuah pemerintahan tidak hanya ditunjang dari sisi koalisi semata. Keberadaan oposisi yang berfungsi dalam melakukan kritik, kontrol dan memberikan saran kepada pemerintahan diyakini adalah keharusan dalam sistem demokrasi.

Oposisi diharapkan mampu menjadi penyeimbang rezim atau partai yang berkuasa dalam pemerintahan (eksekutif) agar tidak bertindak sewenang-wenang, karena jika perbuatan sewenang-wenang dibiarkan, demokrasi akan kembali masuk ke dalam jeruji otoritarianisme.

Dalam hal beroposisi, maka dibutuhkan oposisi demokratik untuk menunjang keberhasilan kebijakan pemerintahan. Oposisi demokratik adalah oposisi yang menjadi wadah alternatif rakyat untuk menilai kebijakan-kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, dalam melakukan koreksi atau kritik terhadap kebijakan pemerintah, oposisi demokratik harus memberikan alternatif gagasan sebagai sebuah solusi kepada rakyat. Kritik, koreksi dan saran oposisi demokratik terhadap pemerintah harus menjadi wahana pendidikan politik kepada rakyat, bukan didasarkan kepada kebencian semata atas kekalahan atau sebagai 'kegenitan politik' untuk meminta posisi kepada pemerintah. Pendidikan politik diberikan oleh oposisi demokratik agar rakyat paham hak dan kewajiban nya dalam demokrasi, serta menimbulkan sikap aktif kepada rakyat dalam menentukan nasib.

Jika oposisi hanya dimaknai sebagai 'asal beda' dengan pemerintah atau ruang bagi meminta konsesi politik, maka sistem demokrasi akan terjerat dalam fatamorgana demokrasi. Sistem demokrasi hanya menjadi ilusi untuk menyenangkan hati rakyat. Sesungguhnya demokrasi hanya menjadi topeng untuk elite-elite politik sebagai ajang bagi-bagi kekuasaan. Kedaulatan rakyat yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa akan menguap oleh waktu. Semoga saja itu tidak terjadi. Semoga elite politik dan rakyat pada umumnya sadar akan perannya masing-masing dalam dinamika politik.

Oleh : Aditya Nugraha Iskandar
Sekjen Iskandar Centre

Tidak ada komentar:

Posting Komentar